Minggu, 20 Desember 2009

Logika berpikir orang Islam

Islam sebenarnya punya tradisi berfikir yang sangat khas, karena pernyataan-pernyataan yang dibangun oleh orang Islam disandarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis. Dari sandaran-sandaran tersebut memunculkan hukum-hukum logika yang sangat unik. Hal itu disebabkan pengambilan keputusan (tasdiq) kadangkala beracuan pada realitas (korespondensi) dengan gaya induksinya, atau bisa juga beracuan pada logika pernyataan (koherensi) dengan gaya deduksinya, atau bisa juga beracuan pada sebuah kepercayaan. Nah, gaya yang ketiga ini menjadi ciri khas logika muslim, misalkan ada ayat-ayat (pernyataan-pernyataan) tentang eksistensi malaikat, jin, syetan dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan realitas transendental (realitas ghaib), sehingga penyimpulan (tasdiq) terhadap realitas tersebut tidak setia dengan fakta atau tidak setia dengan hukum-hukum logika berfikir manusia akan tetapi lebih setia pada realitas ghaib tersebut. Gaya berfikir semacam ini, mungkin yang dikenal sebagai gaya berfikir bayani, dalam konteks hukum logika, akan tetapi bisa juga gaya berfikir irfani, dalam konteks sistem kepercayaan muslim.

Kita coba membahas logika berfikir tersebut, misalnya dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Jangan mendekati perzinahan, karena itu merupakan perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan”. Jika kita tarik kalimat proposisi hukumnya adalah sebagai berikut:
“Semua perbuatan yang mendekati zina merupakan perbuatan keji dan jelek” (premis mayor)
“ Pacaran merupakan perbuatan yang mendekati perzinahan” (premis minor)
“Jadi pacaran merupakan perbuatan yang keji dan jelek” (kesimpulan)

Pernyataan tersebut diatas, menjadi kaidah-kaidah fiqih, sehingga dalam kaidah tersebut terumuskan proposisi-proposisi pernyataan kesimpulan. Jadi para fuqaha sebenarnya telah memberikan sentuhan-sentuhan logika berfikir yang sangat sistematis, sehingga Islam memiliki tradisi berfikir yang sangat khas tersebut.

Hukum-hukum yang diproduksi oleh Islam para fuqaha sendiri juga berbeda dengan produk hukum yang lain. Kita contohkan saja dengan produk hukum yang ada di Indonesia sendiri, dimana pernyataan kebenarannya hanya ada dua pilihan yaitu benar atau bersalah. Jadi tampak sekali hitam putih, jika si A melakukan perbuatan tertentu, maka hukumnya kalau tidak salah ya tidak benar.

Di tradisi para fuqaha sendiri lebih berhati-hati (ihtiyatan), karena segala perbuatan seseorang bisa saja dalam kategori yang sangat dilematis, karena mungkin saja dia mengkonsumsi barang yang salah (haram), akan tetapi demi kemaslahatan (kebenaran). Sehingga para fuqaha memproduksi kategorisasi hukum menjadi 5 kategori yaitu halal, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Penggolongan oleh fuqaha ini tampaknya dilakukan melihat kompleksitas pernyataan hukum yang serba bisa “ditembus” sana ini, sehingga bisa-bisa pernyataan hukum terus dalam perdebatan yang sangat kusir sekali dan tidak ada solusi hukum sama sekali.

Kita mungkin baru saja mendengar kabar bahwa para jama’ah haji sebelum pergi haji tahun ini disuntik dengan semacam serum anti flu babi. Dan konon, bahan dari serum tersebut diambilkan dari imun (kekebalan) babi itu sendiri. Analoginya bahwa manusia sebenarnya mempunyai sistem kekebalan tubuh ketika manusia mengalami gangguan atau sakit secara alami. Ternyata babi dan hewan-hewan yang lain juga memiliki sistem kekebalan tubuh, ketika dia sakit. Sehingga ketika babi terkena penyakit flu, maka secara otomatis sistem kekebalan tubuhnya babi akan secara otomatis menolak. Nah, sistem kekebalan tubuh (imun) inilah yang kemudian oleh para pakar kesehatan diambil untuk dijadikan obat penawar kepada manusia yang terkena virus flu babi, sehingga suntikan tersebut berasal dari babi.

Nah, problem-problem semacam ini, harus dipahami betul oleh para fuqaha, agar mampu menyikapi bagaimana sebenarnya hukum penyuntikan tersebut, karena Rasulullah SAW sendiri juga pernah menyatakan dalam sebuah hadis tentang lalat, agar ketika ada air minum yang dihinggapi lalat jangan keburu untuk membuang minuman tersebut, akan tetapi lalat tersebut ditenggelamkan semuanya dan diperbolehkan untuk diminum, karena menurut hadis tersebut dinyatakan bahwa pada sayap lalat itu ada racum dan sebelahnya adalah penawar. Padahal, lalat sebenarnya hewan yang menjijikan dan mungkin bisa dikategorikan haram akan tetapi karena dia bisa memberikan kesembuhan, maka posisi lalat tidak lagi menjadi hewan yang haram.

Fenomena seperti ini, dalam tradisi Islam menimbulkan gaya dan corak logika pengetahuan yang baru, dan kadang obyek realitas yang dicontohkan dalam tradisi hukum logika tersebut tidak setia dengan fakta-fakta tertentu. Kategorisasi hukum yang diproduksi oleh para fuqaha sebenarnya mencerminkan bahwa hukum Islam sebenarnya hukum yang lebih berhati-hati dalam menempatkan posisi sebuah kasus tertentu dan juga sebenarnya mencerminkan bahwa sebuah kasus tertentu sebenarnya memiliki kompleksitas yang tidak sederhana.

Kamis, 17 Desember 2009

Tradisi filsafat pendidikan Islam

Salah seorang filsuf mastur bertanya kepadaku tentang apakah ada tradisi filsafat pendidikan Islam...pertanyaan ini sederhana tapi sangat mendasar dan membutuhkan pemikiran yang utuh untuk memahami pertanyaan seperti ini karena kompleksitas istilah yang mungkin membutuhkan banyak penafsiran, hanya saja persoalan itu mungkin bisa kita jawab mulai dari diturunkannya al-Qur’an dan Muhammad SAW di muka bumi ini.

Al-Qur’an diturunkan dimuka bumi ini membawa berbagai macam konsep kehidupan bagi manusia seluruh alam. Salah satunya adalah konsep tentang manusia seperti al-Insan, al-Basyar, Khalifah, ‘abdun, al-Nas dan lain sebagainya. Pada hakekatnya obyek pendidikan sebenarnya manusia, sehingga konsep-konsep dan penafsiran tentang manusia dalam al-Qur’an menjadi obyek perdebatan yang sangat tajam yang orientasi akhirnya adalah manusia sempurna (Insan Kamil). Apalagi Rasulullah SAW telah menunjukkan semua perilakunya yang begitu sempurna sehingga sosok Beliau merupakan the model bagi perilaku manusia seluruh dunia ini.
Para filsuf muslim sendiri secara rasional juga menelorkan konsep-konsep manusia sesuai dengan keilmuwannya masing-masing, sehingga filsafat pendidikan Islam sebenarnya sudah menjadi bagian dari tradisi perbincangan pendidikan itu sendiri.

Pendidikan sendiri lebih diartikan sebagai upaya pemberdayaan potensi manusia seutuhnya, baik potensi aqliyah (intelektual), jasadiyah (fisik), khuluqiyah (perilaku) dan ruhiyah (spiritual). Upaya tersebut tentunya menimbulkan dampak yang luar biasa tentang bagaimana cara membentuk manusia yang memiliki potensi-potensi tersebut diatas. Tentang ke-bagaimana-an inilah kemudian muncul program-program pendidikan yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan muslim (ulama’) melalui lembaga-lembaga yang dikembangkannya itu, seperti sekolah Islam, madrasah, jami’ah, majelis khalaqah, majelis ta’lim dan lain sebagainya.

Persoalan pendidikan ternyata tidak hanya sebatas perdebatan tentang konsep manusia saja, akan tetapi juga pada masalah konstruksi pengetahuan (epistemologi). Konstruksi pengetahuan yang dibangun dalam tradisi Islam pada hakekatnya adalah menjaga pengetahuan yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Usaha untuk menjaga pengetahuan tersebut berdampak pada model pembelajaran ciri khas Islam yaitu lebih cenderung menghafal ayat-ayat Allah atau mengutip pengetahuan langsung dari orang-orang yang memiliki tingkat kepercayaan dan hafalan yang kuat, dan yang lebih penting lagi sebenarnya posisi guru dalam pembelajaran (ta’lim) ini. seorang guru harus betul-betul seorang yang memiliki kredibiltas keilmuwan yang mumpuni serta memiliki kesinambungan pengetahuan sampai pada Rasulullah SAW atau dalam bahasa sederhananya adalah harus memiliki sanad yang jelas, sehingga pengetahuan itu betul-betul terjaga. Guru tidak diperbolehkan membiarkan muridnya untuk melakukan konstruksi pengetahuan sendiri tanpa ada petunjuk darinya (irsyadu ustadzin) atau dalam bahasa sekarang adalah lebih ke model teacher centre.

Pandangan manusia mutakhir menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan melakukan konstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga meskipun tanpa seorang gurupun manusia sebenarnya mampu memperoleh pengetahuan tertentu, sehingga posisi guru sebenarnya hanya sebagai fasilitator siswa yang melakukan proses pembelajaran. Paradigma ini kemudian dikenal dengan model student centre, dimana siswalah yang harus aktif menemukan pengetahuannya itu.

Nah, pandangan mutakhir ini sebenarnya tidak bertentangan dengan pandangan Islam, karena dalam al-Qur’an sendiri ternyata manusia sebenarnya diberikan pengetahuan oleh Allah jauh sebelum manusia dilahirkan di muka bumi ini, sehingga sebenarnya semua pengetahuan yang diperoleh oleh manusia ketika terlahir di muka bumi ini adalah hanya sebatas mengingat kembali. Akan tetapi perlu diingat bahwa proses rememory pengetahuan itu sebenarnya masih membutuhkan bimbingan seorang yang sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih dahulu diperolehnya. Orang yang membimbing inilah yang kemudian disebut sebagai guru baik itu guru dari keluarga (orang tua) maupun dari masyarakat.

Walhasil, pendidikan Islam sebenarnya diciptakan dari konsep manusia dan konstruksi tentang pengetahuan itu sehingga terbreakdown dalam model, strategi, program dan kurikulum yang sangat khas itu.

Kamis, 10 Desember 2009

Manusia adalah makhluk hidup yang mampu memberikan nama

Dunia ilmu pengetahuan telah banyak memberikan definisi tentang manusia, ada yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang berfikir (al-Hayawan al-Natiq), ada yang menyebut dengan makhluk sosial (homo sociality), ada yang menyebut dengan homo economicus yaitu makhluk hidup yang mampu bertahan dengan prinsip-prinsip ekonominya dan lain sebagainya. Nah, definisi diatas ternyata definisi yang tidak terbantahkan dan memang tidak dimiliki oleh makhluk hidup yang lain selain manusia.

Coba anda lihat definisi pada judul diatas, manusia adalah makhluk hidup yang mampu memberikan nama. Apakah benar definisi diatas???pertanyaan ini membutuhkan pengujian pada identitas diatas, baik secara koherensi, maupun korespondensi. Sekarang coba kita simbolkan dulu istilah diatas. Misalkan manusia kita beri symbol X, sedangkan makhluk hidup yang mampu memberikan nama adalah Y, sedangkan adalah kita bias simbolkan dengan =. Sehingga pernyataan manusia adalah makhluk hidup yang mampu memberikan nama dengan symbol (X = Y), X merupakan variable identitas yang mendefinisikan, sedangkan Y merupakan variable identitas yang didefinisikan, karena X = Y, maka yang mendefinisikan dengan yang didefinisikan harus memiliki nilai yang sama, sehingga, jika X=Y, maka Y=X. uji pernyataan diatas merupakan uji kebenaran secara koherensi.


Untuk itu, maka coba jika Y kita jadikan pada pernyataan semula yaitu makhluk hidup yang mampu memberikan nama adalah manusia. Dengan pernyataan diatas, maka terjadi dugaan bahwa semua makhluk hidup yang mampu memberikan nama adalah manusia. Sekarang kita mencoba dengan uji korespondensi, yaitu apakah benar selain manusia tidak ada makhluk hidup yang mampu memberikan nama. Coba kita buktikan satu persatu; (1) Hewan, apakah hewan memiliki kemampuan memberikan nama pada obyek tertentu???tentu jawabannya adalah tidak bisa, (2) Tumbuhan, apakah dia mampu juga?maka jawabannya adalah tidak juga, sekarang yang ke (3) Malaikat dan Iblis, dalam ayat al-Qur’an disebutkan bahwa malaikat tidak mampu menyebutkan semua nama yang sudah diajarkan Allah kepadanya, sehingga para malaikat tertunduk kalah dengan Adam.

Khusus dalil nomor tiga ini sebenarnya masih tidak bisa dikategorikan dalil kebenaran korespondensi, karena malaikat dan jin masih bukan menjadi realitas obyektif yang sebenarnya. Mungkin bisa kita kategorikan sebagai dalil Bayani, yaitu kebenaran yang di peroleh dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadis, sebagai sumber kebenarannya.. jadi proposisi manusia, malaikat dan jin dibangun berdasarkan pernyataan-pernyataan dalam al-Qur’an dan al-Hadis.


Pernyataan yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut sebenarnya tidak serta merta Adam diperintah Allah untuk menyebutkan nama saja, akan tetapi ketika menyebutkan nama sebenarnya bias terjadi ketika Adam mampu membedakan antara satu obyek dengan obyek yang lain itu artinya Adam sebenarnya juga mampu memberikan nama pada obyek yang dia kenal. Sehingga kemampuan inilah yang membuat para malaikat tunduk, hanya saja Iblis tidak mau mengakui kemampuan manusia ini. Jadi secara empiric ternyata juga dibuktikan bahwa selain manusia tidak ada makhluk lain yang dapat memberikan nama pada suatu obyek tertentu. Karenanya definisi diatas sangat kuat dan tidak dapat dibantahkan.

Rabu, 02 Desember 2009

Reorientasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam

Orientasi pendidikan Islam masa kini sebenarnya lebih berusaha untuk melepaskan bayang-bayang keterkungkungan masa kegelapan yang selama ini dialami oleh umat Islam seluruh dunia dan lebih beromantika pada masa kejayaan Islam pada jama keemasannya yang sampai memproduk para tokoh muslim handal di bidang pengetahuan dan agama.

Pengetahuan dan agama sempat menjadi problem keresahan umat Islam, karena sejarah di dunia Barat ternyata pengetahuan dan agama tidak ketemu sama sekali. Pengetahuan merupakan bagian yang terpisah dan memang harus dipisahkan dari agama, karena berkaca dari kasus Galeleo yang menyatakan bahwa fatwa para ulama gereja yang menyatakan bahwa pusat tata surya adalah bumi ternyata tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, sehingga posisi agama menjadi rawan kebenarannya yang selama ini dipercayai sangat absolut.
Umat Islam sendiri juga ditakutkan dengan melakukan ijtihad-ijtihad (berfikir kreatif), karena persyaratan atau standar yang sangat sulit untuk bisa dicapai oleh generasi muslim masa kini. Seorang Mujtahid haruslah seorang yang zuhud, hafal al-Qur’an, hafal Hadis sekian ribu dan lain sebagainya. Standar yang cukup ideal ini menjadi semacam ketakutan umat Islam untuk melakukan inovasi-inovasi pemikiran yang bisa menjadikan peradaban Islam maju.

Pada saat ini tampaknya ketakutan itu mulai “pudar” dikarenakan tuntutan dan problem masyarakat yang luar biasa harus betul-betul dipenuhi, sebagian ada yang melakukan ijtihad itu dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan ulama’ (ijma’), ada juga yang melepaskan diri untuk tidak bermadzhab (non madzhabi). Gerakan untuk melepaskan “kungkungan” madzhab ini lebih cenderung melakukan liberalisasi gaya berfikir baik dari kalangan golongan Islam tradisional, modern maupun trans nasional meskipun hasil berfikir liberal mereka masih belum bisa menjadi standar baku bagi perilaku umat Islam, akan tetapi gerakan tersebut cukup menghentakan golongan “tua” seperti yang terjadi di organisasi sosial ke-Islaman yang ada di negeri Indonesia dengan gerakan liberalisasi model mereka sendiri. Liberalisasi ini sebenarnya lebih bermakna pembebasan gaya berfikir saja dan bukan berarti liberalisasi ini cenderung ke arah pe”murtad”an atau penghancuran terhadap syariat Islam, akan tetapi lebih ke arah berfikir non madzhabi.

Gerakan yang lebih ekstrim lagi di tubuh umat Islam adalah lebih ke arah inovasi-inovasi keimanan, seperti adanya gerakan yang percaya adanya nabi setelah Rasulullah SAW, atau gerakan muslim yang percaya pada turunnya wahyu pada abad ini. Gerakan ini muncul sebenarnya dalam rangka memecahkan problem sosial yang mungkin boleh dikatakan “akut” dan harus betul-betul ada solusi atau pikiran-pikiran inovasi (ijtihad) agar problem tersebut cepat teratasi.

Di dunia pendidikan sendiri gerakan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama mulai gencar, karena para ilmuwan muslim masa kini sangat mempercayai bahwa pengetahuan dan agama sebenarnya bisa bersatu. Dampak yang sangat signifikan dari kepercayaan ini adalah terciptanya sistem pendidikan berparadigma integrasi dimana-mana. Di Indonesia sendiri pendidikan Islam mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi besar-besaran merancang kurikulum berparadigma integrasi dan terbukti sangat sukses diterima di masyarakat. Masyarakat merasa pendidikan agama perlu disajikan di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah. Disamping dapat menghantarkan peserta didik yang memiliki ilmu pengetahuan dan agama juga dikarenakan ketidaksempatan dan ketidakmampuan masyarakat untuk melakukan pendidikan di rumah atau keluarganya, karena keterbatasan pengetahuan dan juga keterbatasan waktu karena disibukkan oleh pekerjaan dan profesinya masing-masing.
Umat Islam juga merasa ketertinggalan dengan dunia barat, sehingga mau tidak mau mereka harus mengejar ketertinggalan tersebut agar tidak dijajah dan dihegemoni baik secara pemikiran maupun ekonomi yang pada ujungnya menurut kepercayaan umat Islam merupakan indikator tumbangnya sendi-sendi agama Islam