Pertanyaan tersebut sebenarnya sangat mendasar karena menyangkut segala kondisi, potensi dan dimensi yang ada pada diri manusia. Manusia memang memiliki dimensi fisik, jiwa serta pikiran (Body, Soul, and Mind). Tindakan-tindakan atau perilaku manusia sebenarnya dihasilkan dari proses internalisasi ketika manusia melihat realitas yang ada, tentu saja internalisasi tersebut dari proses perpaduan antara berfikir tentang realitas, kemudian jiwanya mulai melakukan kajian-kajian atas realitas tersebut sehingga muncullah penilaian yang pada akhirnya manusia mulai bertindak sesuai dengan nilai yang dia anut atau yang kita kenal sebagai paradigma. (lihat pelajaran lalu).
Fisik manusia juga sangat berpengaruh pada perilaku manusia, ketika manusia berpikir tentang realitas tertentu dan akan melakukan sebuah tindakan tentunya tergantung pada kondisi fisiknya, apakah memungkinkan melakukan tindakan tersebut atau tidak. Kondisi fisik atau jasmani yang rusak atau sakit juga pasti berakibat pada daya nalar pikiran sehingga perilaku manusia juga bisa sesuai dengan harapan atau bisa juga tidak sesuai dengan harapan.
Selasa, 01 November 2011
Soal UTS
UJIAN TENGAH SEMESTER
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam (Open Book)
Dosen Pembimbing : Dr.Abdul Malik Karim Amrullah, M.PdI
Jurusan : PAI
Semester : III
1.Coba anda analisis pernyataan dibawah ini
It can be said that the phylosophy of education began when people first became concious of education as a distinct human activity. Although preliterate societies didnt have the long-range goals and complex social systems we find in modern times, and while they didnt have the analytical tools that modern philosopher have, even preliterate education involved a philosophical attitude about life. Humanity had a philosophy of education long before we knew what it was or what it could mean in term of educational development
In earlier times, education was primarly for survival. Children were taught the skill necessary for living. Gradually, however, people came to use education for a variety of purposes. Today, education may be used not only for survival (though recent ecological studies show that it may still be used for such purposes) but also for better use of leisure time (waktu luang) and refinement (kehidupan) in social and cultural life. As the practice of education has developed, so also have philosophies about education; however, it has become easy for us to overlook the connection between theory and practice and to deal with practice apart from theory. We may in a dilemma because we seem to be more involved with the practical aspects of education than we are with an analysis of educational theory and its connection with practice. What we need is not only better theorizing about education and better methods but also a concerted effort to join the two. Thinking about education without consideration for the practical world means that philosopher of education became web spinners (Jaringan Pemintal)of thought engaged in mere academic exercises. On the other hand, tinkering with educational methods without serious thought result in practices that have little substance or meaning
2.Jelaskan maksud pengertian Tarbiyah dan Fitrah dibawah ini
التربية الإسلامية
تنمية فكرالإنسان,و تنظيم سلوكه,وعواطفه,على أساس الدين الإسلامي, وبقصد تحقيق أهداف الإسلام في حياة الفرد والجماعة
فى هذا الموضوع نبحث عن الفطرة والتربية الإسلامية وما تعلق فيها. فى الإسلام نسمع كثيرا من هذين ولانعرف ما تعريفهما. قد قال الله تعالى فى القرأن الكريم عنهما يعنى فى سورة الروم 30
والفطرة هنا فطرة التوحيد والعبودية لله سبحانه وتعالى لا شريك له، فكل إنسان مفطور عليها. قد قال محمد فوار و عبد الباقى فى معجم غريب القرأن أن الفطرة يأتى بمعنى الإسلام لوجه الله سبحا نه وتعالى، والتوجه إلى القدرة الخا لقة للوجود كله توجها واعيا خا لصا صريحا لله سبحا نه وتعالى.
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam (Open Book)
Dosen Pembimbing : Dr.Abdul Malik Karim Amrullah, M.PdI
Jurusan : PAI
Semester : III
1.Coba anda analisis pernyataan dibawah ini
It can be said that the phylosophy of education began when people first became concious of education as a distinct human activity. Although preliterate societies didnt have the long-range goals and complex social systems we find in modern times, and while they didnt have the analytical tools that modern philosopher have, even preliterate education involved a philosophical attitude about life. Humanity had a philosophy of education long before we knew what it was or what it could mean in term of educational development
In earlier times, education was primarly for survival. Children were taught the skill necessary for living. Gradually, however, people came to use education for a variety of purposes. Today, education may be used not only for survival (though recent ecological studies show that it may still be used for such purposes) but also for better use of leisure time (waktu luang) and refinement (kehidupan) in social and cultural life. As the practice of education has developed, so also have philosophies about education; however, it has become easy for us to overlook the connection between theory and practice and to deal with practice apart from theory. We may in a dilemma because we seem to be more involved with the practical aspects of education than we are with an analysis of educational theory and its connection with practice. What we need is not only better theorizing about education and better methods but also a concerted effort to join the two. Thinking about education without consideration for the practical world means that philosopher of education became web spinners (Jaringan Pemintal)of thought engaged in mere academic exercises. On the other hand, tinkering with educational methods without serious thought result in practices that have little substance or meaning
2.Jelaskan maksud pengertian Tarbiyah dan Fitrah dibawah ini
التربية الإسلامية
تنمية فكرالإنسان,و تنظيم سلوكه,وعواطفه,على أساس الدين الإسلامي, وبقصد تحقيق أهداف الإسلام في حياة الفرد والجماعة
فى هذا الموضوع نبحث عن الفطرة والتربية الإسلامية وما تعلق فيها. فى الإسلام نسمع كثيرا من هذين ولانعرف ما تعريفهما. قد قال الله تعالى فى القرأن الكريم عنهما يعنى فى سورة الروم 30
والفطرة هنا فطرة التوحيد والعبودية لله سبحانه وتعالى لا شريك له، فكل إنسان مفطور عليها. قد قال محمد فوار و عبد الباقى فى معجم غريب القرأن أن الفطرة يأتى بمعنى الإسلام لوجه الله سبحا نه وتعالى، والتوجه إلى القدرة الخا لقة للوجود كله توجها واعيا خا لصا صريحا لله سبحا نه وتعالى.
Selasa, 02 Februari 2010
Paradigma
Pada pelajaran kali ini kita coba mengupas apa itu paradigma. Istilah ini dalam diskusi ilmiah seringkali muncul sebagai istilah yang “bergengsi” dalam diskusi ilmiah. Istilah ini ternyata memiliki sejarah yang panjang kenapa sampai muncul sebagai istilah “resmi” dalam dunia ilmu pengetahuan.
Konon istilah ini dimunculkan oleh Thomas Khunt dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962). Tujuan utama Kuhn dalam bukunya ini sebenarnya untuk melakukan pertentangan asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuwan pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan itu terjadi secara kumulatif. Pandangan demikian mendapat dukungan antara lain dengan melalui penerbitan buku teks yang memberikan kesan yang sama bahwa ilmu berkembang secara kumulatif. Menurut Kuhn pandangan itu merupakan mitos yang mesti harus dihilangkan. Menurut Kuhn perkembangan pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif akan tetapi terjadi secara revolusi. Ia berpendapat bahwa sementara kumulatif memainkan peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi secara revolusi. Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah sebagai berikut:
Paradigma1---Normal science---Anomalies----Crisis----Revolusi----Paradigma2
Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Normal science adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan, dimana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (anomalies) karena tidak mampunya paradigma 1 memberikan penjelasan terhadap persoalan yang timbul secara memadai. Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan timbul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi akan terjadi dan paradigma yang baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh paradigma sebelumnya. Jadi dalam periode revolusi itu terjadi suatu perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama mulai menurun pengaruhnya, digantikan oleh paradigma baru yang lebih dominan. (lihat;Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terj. Alimandan,4)
Nah, tadi adalah pengertian paradigma secara teori, sekarang coba kita maknai secara lepas. Dalam sebuah seminar Stephan Cove tentang The Seven Habit dijelaskan bahwa paradigma merupakan peta dalam pikiran manusia (map in human mind. Jadi manusia sebenarnya memiliki peta yang dijadikan sebagai acuan berpikirnya dia, sehingga ketika manusia bertindak atau melakukan sesuatu pasti berangkat pada acuan tersebut. Acuan yang dipakai manusia bisa berupa kepercayaan terhadap sesuatu yang sudah pasti bersifat umum. Sesuatu yang sudah digeneralisasi kebenarannya secara umum inilah yang kemudian menjadi sistem nilai yang kemudian dijadikan sebagai pandangan dunia manusia.
Jaman dahulu kaum gereja menyatakan bahwa bumi merupakan pusat tatasurya, menjadi paradigma masyarakat pada saat itu, sehingga mereka mempunyai pandangan dunia seperti itu, namun ketika pandangan umum tersebut dibantah oleh penelitian yang dilakukan oleh Galileo yang sebelumnya diawali dengan dalil copernicus yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan hukum-hukum logika alam raya dan akhirnya dibuktikan secara nyata oleh Galileo, maka paradigma tersebut mulai krisis artinya krisis kepercayaan terhadap nilai yang sudah dianut oleh masyarakat saat itu, sehingga terjadilah revolusi dalam struktur otak manusia tentang realitas tersebut yaitu pusat tata surya, walhasil terjadilah paradigma baru dalam pengetahuan manusia bahwa bumi bukan pusat tata surya akan tetapi mataharilah yang menjadi pusat tata surya.
Wallahu a’lam bi al-Sawab
Konon istilah ini dimunculkan oleh Thomas Khunt dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962). Tujuan utama Kuhn dalam bukunya ini sebenarnya untuk melakukan pertentangan asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuwan pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan itu terjadi secara kumulatif. Pandangan demikian mendapat dukungan antara lain dengan melalui penerbitan buku teks yang memberikan kesan yang sama bahwa ilmu berkembang secara kumulatif. Menurut Kuhn pandangan itu merupakan mitos yang mesti harus dihilangkan. Menurut Kuhn perkembangan pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif akan tetapi terjadi secara revolusi. Ia berpendapat bahwa sementara kumulatif memainkan peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi secara revolusi. Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah sebagai berikut:
Paradigma1---Normal science---Anomalies----Crisis----Revolusi----Paradigma2
Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Normal science adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan, dimana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (anomalies) karena tidak mampunya paradigma 1 memberikan penjelasan terhadap persoalan yang timbul secara memadai. Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan timbul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi akan terjadi dan paradigma yang baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh paradigma sebelumnya. Jadi dalam periode revolusi itu terjadi suatu perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama mulai menurun pengaruhnya, digantikan oleh paradigma baru yang lebih dominan. (lihat;Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terj. Alimandan,4)
Nah, tadi adalah pengertian paradigma secara teori, sekarang coba kita maknai secara lepas. Dalam sebuah seminar Stephan Cove tentang The Seven Habit dijelaskan bahwa paradigma merupakan peta dalam pikiran manusia (map in human mind. Jadi manusia sebenarnya memiliki peta yang dijadikan sebagai acuan berpikirnya dia, sehingga ketika manusia bertindak atau melakukan sesuatu pasti berangkat pada acuan tersebut. Acuan yang dipakai manusia bisa berupa kepercayaan terhadap sesuatu yang sudah pasti bersifat umum. Sesuatu yang sudah digeneralisasi kebenarannya secara umum inilah yang kemudian menjadi sistem nilai yang kemudian dijadikan sebagai pandangan dunia manusia.
Jaman dahulu kaum gereja menyatakan bahwa bumi merupakan pusat tatasurya, menjadi paradigma masyarakat pada saat itu, sehingga mereka mempunyai pandangan dunia seperti itu, namun ketika pandangan umum tersebut dibantah oleh penelitian yang dilakukan oleh Galileo yang sebelumnya diawali dengan dalil copernicus yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan hukum-hukum logika alam raya dan akhirnya dibuktikan secara nyata oleh Galileo, maka paradigma tersebut mulai krisis artinya krisis kepercayaan terhadap nilai yang sudah dianut oleh masyarakat saat itu, sehingga terjadilah revolusi dalam struktur otak manusia tentang realitas tersebut yaitu pusat tata surya, walhasil terjadilah paradigma baru dalam pengetahuan manusia bahwa bumi bukan pusat tata surya akan tetapi mataharilah yang menjadi pusat tata surya.
Wallahu a’lam bi al-Sawab
Kamis, 28 Januari 2010
Agama, filsafat dan pengetahuan
Ketiga istilah tersebut diatas kerapkali kita dengar dalam pelajaran filsafat, dan memang ketiganya memiliki perbedaan dimensi. Filsafat dimensinya adalah rasio atau akal, sedangkan agama dimensinya adalah kepercayaan batin manusia, sedangkan pengetahuan dimensinya adalah empiris atau pengalaman nyata.
Filsafat biasanya membangun logika-logika, hubungan sebab akibat yang ada di dalam otak manusia sehingga manusia mampu membuat prediksi-prediksi logis obyek yang dicerap oleh manusia. Contoh paling sederhana adalah “Jika kita merasa lapar, maka tentu prediksi logisnya adalah kita akan makan”, “Jika kita merasa mengantuk, maka prediksi logisnya adalah tentu kita akan tidur”. Jadi kalimat yang dibangun merupakan kalimat bersyarat atau kondisional (Jumlah Syartiyah atau Conditional Sentence). Kalimat yang dibangun memiliki syarat yang akan menyebabkan terjadinya sesuatu.
Bangunan bersyarat tersebut biasanya sangat lemah jika terjadi pada dunia empiris (pengalaman), karena syarat-syarat tersebut ternyata kadang tidak terwujud secara riil dalam dunia nyata. Orang yang merasa lapar, ternyata ada juga yang tidak berbuat makan akan tetapi langsung tidur, karena dia memang terbiasa tidur kalau merasa lapar atau mungkin karena sebab yang lainnya. Nah, dimensi inilah yang disebut dimensi empiris. Dimensi ini membutuhkan pengalaman langsung manusia jadi tidak membutuhkan syarat akan tetapi langsung pada demonstrasi. Manusia modern banyak menganut azas ini, karena mereka menginginkan sesuatu itu benar-benar riil bukan sebuah perkiraan atau yang lainnya. Produk yang paling nyata dari gaya berfikir ini adalah terciptanya alat-alat canggih, karena alat-alat ini memang kebanyakan digunakan untuk membuktikan obyek tertentu, seperti teleskop untuk melihat benda-benda jauh dan lain sebagainya.
Kedua dimensi diatas juga akan tempak lemah ketika ada dimensi yang sangat tidak bersentuhan dengan dimensi akal dan pengalaman yaitu dimensi keyakinan. Dimensi ini yang disebut dimensi agama. Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan pada diri manusia yang terwujud tanpa ada hubungan sebab akibat maupun pengalaman manusia. Contoh sederhana adalah ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil tiba-tiba dihadapan kita ada kucing menyeberang dan kita tabrak kucing tersebut. Maka dalam benak kita pasti akan membuat sebuah kesimpulan yang sangat spontan yaitu kita pasti akan tertimpa musibah. Kesimpulan kita akan tertimpa musibah tersebut sebenarnya muncul secara tiba-tiba tanpa ada hubungan sebab akibatnya.
Wallahu A'lam bi al-Sawab
Filsafat biasanya membangun logika-logika, hubungan sebab akibat yang ada di dalam otak manusia sehingga manusia mampu membuat prediksi-prediksi logis obyek yang dicerap oleh manusia. Contoh paling sederhana adalah “Jika kita merasa lapar, maka tentu prediksi logisnya adalah kita akan makan”, “Jika kita merasa mengantuk, maka prediksi logisnya adalah tentu kita akan tidur”. Jadi kalimat yang dibangun merupakan kalimat bersyarat atau kondisional (Jumlah Syartiyah atau Conditional Sentence). Kalimat yang dibangun memiliki syarat yang akan menyebabkan terjadinya sesuatu.
Bangunan bersyarat tersebut biasanya sangat lemah jika terjadi pada dunia empiris (pengalaman), karena syarat-syarat tersebut ternyata kadang tidak terwujud secara riil dalam dunia nyata. Orang yang merasa lapar, ternyata ada juga yang tidak berbuat makan akan tetapi langsung tidur, karena dia memang terbiasa tidur kalau merasa lapar atau mungkin karena sebab yang lainnya. Nah, dimensi inilah yang disebut dimensi empiris. Dimensi ini membutuhkan pengalaman langsung manusia jadi tidak membutuhkan syarat akan tetapi langsung pada demonstrasi. Manusia modern banyak menganut azas ini, karena mereka menginginkan sesuatu itu benar-benar riil bukan sebuah perkiraan atau yang lainnya. Produk yang paling nyata dari gaya berfikir ini adalah terciptanya alat-alat canggih, karena alat-alat ini memang kebanyakan digunakan untuk membuktikan obyek tertentu, seperti teleskop untuk melihat benda-benda jauh dan lain sebagainya.
Kedua dimensi diatas juga akan tempak lemah ketika ada dimensi yang sangat tidak bersentuhan dengan dimensi akal dan pengalaman yaitu dimensi keyakinan. Dimensi ini yang disebut dimensi agama. Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan pada diri manusia yang terwujud tanpa ada hubungan sebab akibat maupun pengalaman manusia. Contoh sederhana adalah ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil tiba-tiba dihadapan kita ada kucing menyeberang dan kita tabrak kucing tersebut. Maka dalam benak kita pasti akan membuat sebuah kesimpulan yang sangat spontan yaitu kita pasti akan tertimpa musibah. Kesimpulan kita akan tertimpa musibah tersebut sebenarnya muncul secara tiba-tiba tanpa ada hubungan sebab akibatnya.
Wallahu A'lam bi al-Sawab
Rabu, 27 Januari 2010
Ahli Falak vs Ahli Ma'rifat
Konon dahulu Ranggawarsito dikenal sebagai ahli falak yang luar biasa, semua ramalannya hampir pasti benar.
Suatu saat Ranggawarsito bertemu dengan Kyai Besari, dan menantang untuk menebak berapa lembar daun dari pohon yang ada di pinggir jalan itu jatuh" Kyai ayo, kira-kira berapa lontar daun itu jatuh dalam satu hari?", Kyai Bestari menjawab "Kalau saya menjawab nanti yang jatuh ada 20 lontar, sedangkan Ranggawarsita menjawab "Kalau menurutku nanti yang jatuh ada 10 lontar daun, dalam satu hari"..
Walhasil, ditunggulah hasil dari tebakan itu dalam satu hari, ternyata setelah sekian lama ditunggu dan waktu hampir satu hari kurang sekian saat, yang jatuh hanya 10 lontar. Ranggawarsita berkata "Wahai Kyai ternyata saya yang menang....", ternyata yang jatuh ada 10 lontar. Namun, tiba-tiba datanglah Dokar (Delman, red; Jawa) melintas pohon tersebut, dan jatuhlah beberapa lontar daun sebanyak 10 lontar. Berkatalah kyai Bestari "Kamu salah, coba sekarang hitung lagi yang jatuh"...., dan ternyata daun yang jatuh ada 20.....
Wallahu A'lam bi al-Sawab
Suatu saat Ranggawarsito bertemu dengan Kyai Besari, dan menantang untuk menebak berapa lembar daun dari pohon yang ada di pinggir jalan itu jatuh" Kyai ayo, kira-kira berapa lontar daun itu jatuh dalam satu hari?", Kyai Bestari menjawab "Kalau saya menjawab nanti yang jatuh ada 20 lontar, sedangkan Ranggawarsita menjawab "Kalau menurutku nanti yang jatuh ada 10 lontar daun, dalam satu hari"..
Walhasil, ditunggulah hasil dari tebakan itu dalam satu hari, ternyata setelah sekian lama ditunggu dan waktu hampir satu hari kurang sekian saat, yang jatuh hanya 10 lontar. Ranggawarsita berkata "Wahai Kyai ternyata saya yang menang....", ternyata yang jatuh ada 10 lontar. Namun, tiba-tiba datanglah Dokar (Delman, red; Jawa) melintas pohon tersebut, dan jatuhlah beberapa lontar daun sebanyak 10 lontar. Berkatalah kyai Bestari "Kamu salah, coba sekarang hitung lagi yang jatuh"...., dan ternyata daun yang jatuh ada 20.....
Wallahu A'lam bi al-Sawab
Minggu, 20 Desember 2009
Logika berpikir orang Islam
Islam sebenarnya punya tradisi berfikir yang sangat khas, karena pernyataan-pernyataan yang dibangun oleh orang Islam disandarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis. Dari sandaran-sandaran tersebut memunculkan hukum-hukum logika yang sangat unik. Hal itu disebabkan pengambilan keputusan (tasdiq) kadangkala beracuan pada realitas (korespondensi) dengan gaya induksinya, atau bisa juga beracuan pada logika pernyataan (koherensi) dengan gaya deduksinya, atau bisa juga beracuan pada sebuah kepercayaan. Nah, gaya yang ketiga ini menjadi ciri khas logika muslim, misalkan ada ayat-ayat (pernyataan-pernyataan) tentang eksistensi malaikat, jin, syetan dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan realitas transendental (realitas ghaib), sehingga penyimpulan (tasdiq) terhadap realitas tersebut tidak setia dengan fakta atau tidak setia dengan hukum-hukum logika berfikir manusia akan tetapi lebih setia pada realitas ghaib tersebut. Gaya berfikir semacam ini, mungkin yang dikenal sebagai gaya berfikir bayani, dalam konteks hukum logika, akan tetapi bisa juga gaya berfikir irfani, dalam konteks sistem kepercayaan muslim.
Kita coba membahas logika berfikir tersebut, misalnya dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Jangan mendekati perzinahan, karena itu merupakan perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan”. Jika kita tarik kalimat proposisi hukumnya adalah sebagai berikut:
“Semua perbuatan yang mendekati zina merupakan perbuatan keji dan jelek” (premis mayor)
“ Pacaran merupakan perbuatan yang mendekati perzinahan” (premis minor)
“Jadi pacaran merupakan perbuatan yang keji dan jelek” (kesimpulan)
Pernyataan tersebut diatas, menjadi kaidah-kaidah fiqih, sehingga dalam kaidah tersebut terumuskan proposisi-proposisi pernyataan kesimpulan. Jadi para fuqaha sebenarnya telah memberikan sentuhan-sentuhan logika berfikir yang sangat sistematis, sehingga Islam memiliki tradisi berfikir yang sangat khas tersebut.
Hukum-hukum yang diproduksi oleh Islam para fuqaha sendiri juga berbeda dengan produk hukum yang lain. Kita contohkan saja dengan produk hukum yang ada di Indonesia sendiri, dimana pernyataan kebenarannya hanya ada dua pilihan yaitu benar atau bersalah. Jadi tampak sekali hitam putih, jika si A melakukan perbuatan tertentu, maka hukumnya kalau tidak salah ya tidak benar.
Di tradisi para fuqaha sendiri lebih berhati-hati (ihtiyatan), karena segala perbuatan seseorang bisa saja dalam kategori yang sangat dilematis, karena mungkin saja dia mengkonsumsi barang yang salah (haram), akan tetapi demi kemaslahatan (kebenaran). Sehingga para fuqaha memproduksi kategorisasi hukum menjadi 5 kategori yaitu halal, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Penggolongan oleh fuqaha ini tampaknya dilakukan melihat kompleksitas pernyataan hukum yang serba bisa “ditembus” sana ini, sehingga bisa-bisa pernyataan hukum terus dalam perdebatan yang sangat kusir sekali dan tidak ada solusi hukum sama sekali.
Kita mungkin baru saja mendengar kabar bahwa para jama’ah haji sebelum pergi haji tahun ini disuntik dengan semacam serum anti flu babi. Dan konon, bahan dari serum tersebut diambilkan dari imun (kekebalan) babi itu sendiri. Analoginya bahwa manusia sebenarnya mempunyai sistem kekebalan tubuh ketika manusia mengalami gangguan atau sakit secara alami. Ternyata babi dan hewan-hewan yang lain juga memiliki sistem kekebalan tubuh, ketika dia sakit. Sehingga ketika babi terkena penyakit flu, maka secara otomatis sistem kekebalan tubuhnya babi akan secara otomatis menolak. Nah, sistem kekebalan tubuh (imun) inilah yang kemudian oleh para pakar kesehatan diambil untuk dijadikan obat penawar kepada manusia yang terkena virus flu babi, sehingga suntikan tersebut berasal dari babi.
Nah, problem-problem semacam ini, harus dipahami betul oleh para fuqaha, agar mampu menyikapi bagaimana sebenarnya hukum penyuntikan tersebut, karena Rasulullah SAW sendiri juga pernah menyatakan dalam sebuah hadis tentang lalat, agar ketika ada air minum yang dihinggapi lalat jangan keburu untuk membuang minuman tersebut, akan tetapi lalat tersebut ditenggelamkan semuanya dan diperbolehkan untuk diminum, karena menurut hadis tersebut dinyatakan bahwa pada sayap lalat itu ada racum dan sebelahnya adalah penawar. Padahal, lalat sebenarnya hewan yang menjijikan dan mungkin bisa dikategorikan haram akan tetapi karena dia bisa memberikan kesembuhan, maka posisi lalat tidak lagi menjadi hewan yang haram.
Fenomena seperti ini, dalam tradisi Islam menimbulkan gaya dan corak logika pengetahuan yang baru, dan kadang obyek realitas yang dicontohkan dalam tradisi hukum logika tersebut tidak setia dengan fakta-fakta tertentu. Kategorisasi hukum yang diproduksi oleh para fuqaha sebenarnya mencerminkan bahwa hukum Islam sebenarnya hukum yang lebih berhati-hati dalam menempatkan posisi sebuah kasus tertentu dan juga sebenarnya mencerminkan bahwa sebuah kasus tertentu sebenarnya memiliki kompleksitas yang tidak sederhana.
Kita coba membahas logika berfikir tersebut, misalnya dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Jangan mendekati perzinahan, karena itu merupakan perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan”. Jika kita tarik kalimat proposisi hukumnya adalah sebagai berikut:
“Semua perbuatan yang mendekati zina merupakan perbuatan keji dan jelek” (premis mayor)
“ Pacaran merupakan perbuatan yang mendekati perzinahan” (premis minor)
“Jadi pacaran merupakan perbuatan yang keji dan jelek” (kesimpulan)
Pernyataan tersebut diatas, menjadi kaidah-kaidah fiqih, sehingga dalam kaidah tersebut terumuskan proposisi-proposisi pernyataan kesimpulan. Jadi para fuqaha sebenarnya telah memberikan sentuhan-sentuhan logika berfikir yang sangat sistematis, sehingga Islam memiliki tradisi berfikir yang sangat khas tersebut.
Hukum-hukum yang diproduksi oleh Islam para fuqaha sendiri juga berbeda dengan produk hukum yang lain. Kita contohkan saja dengan produk hukum yang ada di Indonesia sendiri, dimana pernyataan kebenarannya hanya ada dua pilihan yaitu benar atau bersalah. Jadi tampak sekali hitam putih, jika si A melakukan perbuatan tertentu, maka hukumnya kalau tidak salah ya tidak benar.
Di tradisi para fuqaha sendiri lebih berhati-hati (ihtiyatan), karena segala perbuatan seseorang bisa saja dalam kategori yang sangat dilematis, karena mungkin saja dia mengkonsumsi barang yang salah (haram), akan tetapi demi kemaslahatan (kebenaran). Sehingga para fuqaha memproduksi kategorisasi hukum menjadi 5 kategori yaitu halal, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Penggolongan oleh fuqaha ini tampaknya dilakukan melihat kompleksitas pernyataan hukum yang serba bisa “ditembus” sana ini, sehingga bisa-bisa pernyataan hukum terus dalam perdebatan yang sangat kusir sekali dan tidak ada solusi hukum sama sekali.
Kita mungkin baru saja mendengar kabar bahwa para jama’ah haji sebelum pergi haji tahun ini disuntik dengan semacam serum anti flu babi. Dan konon, bahan dari serum tersebut diambilkan dari imun (kekebalan) babi itu sendiri. Analoginya bahwa manusia sebenarnya mempunyai sistem kekebalan tubuh ketika manusia mengalami gangguan atau sakit secara alami. Ternyata babi dan hewan-hewan yang lain juga memiliki sistem kekebalan tubuh, ketika dia sakit. Sehingga ketika babi terkena penyakit flu, maka secara otomatis sistem kekebalan tubuhnya babi akan secara otomatis menolak. Nah, sistem kekebalan tubuh (imun) inilah yang kemudian oleh para pakar kesehatan diambil untuk dijadikan obat penawar kepada manusia yang terkena virus flu babi, sehingga suntikan tersebut berasal dari babi.
Nah, problem-problem semacam ini, harus dipahami betul oleh para fuqaha, agar mampu menyikapi bagaimana sebenarnya hukum penyuntikan tersebut, karena Rasulullah SAW sendiri juga pernah menyatakan dalam sebuah hadis tentang lalat, agar ketika ada air minum yang dihinggapi lalat jangan keburu untuk membuang minuman tersebut, akan tetapi lalat tersebut ditenggelamkan semuanya dan diperbolehkan untuk diminum, karena menurut hadis tersebut dinyatakan bahwa pada sayap lalat itu ada racum dan sebelahnya adalah penawar. Padahal, lalat sebenarnya hewan yang menjijikan dan mungkin bisa dikategorikan haram akan tetapi karena dia bisa memberikan kesembuhan, maka posisi lalat tidak lagi menjadi hewan yang haram.
Fenomena seperti ini, dalam tradisi Islam menimbulkan gaya dan corak logika pengetahuan yang baru, dan kadang obyek realitas yang dicontohkan dalam tradisi hukum logika tersebut tidak setia dengan fakta-fakta tertentu. Kategorisasi hukum yang diproduksi oleh para fuqaha sebenarnya mencerminkan bahwa hukum Islam sebenarnya hukum yang lebih berhati-hati dalam menempatkan posisi sebuah kasus tertentu dan juga sebenarnya mencerminkan bahwa sebuah kasus tertentu sebenarnya memiliki kompleksitas yang tidak sederhana.
Kamis, 17 Desember 2009
Tradisi filsafat pendidikan Islam
Salah seorang filsuf mastur bertanya kepadaku tentang apakah ada tradisi filsafat pendidikan Islam...pertanyaan ini sederhana tapi sangat mendasar dan membutuhkan pemikiran yang utuh untuk memahami pertanyaan seperti ini karena kompleksitas istilah yang mungkin membutuhkan banyak penafsiran, hanya saja persoalan itu mungkin bisa kita jawab mulai dari diturunkannya al-Qur’an dan Muhammad SAW di muka bumi ini.
Al-Qur’an diturunkan dimuka bumi ini membawa berbagai macam konsep kehidupan bagi manusia seluruh alam. Salah satunya adalah konsep tentang manusia seperti al-Insan, al-Basyar, Khalifah, ‘abdun, al-Nas dan lain sebagainya. Pada hakekatnya obyek pendidikan sebenarnya manusia, sehingga konsep-konsep dan penafsiran tentang manusia dalam al-Qur’an menjadi obyek perdebatan yang sangat tajam yang orientasi akhirnya adalah manusia sempurna (Insan Kamil). Apalagi Rasulullah SAW telah menunjukkan semua perilakunya yang begitu sempurna sehingga sosok Beliau merupakan the model bagi perilaku manusia seluruh dunia ini.
Para filsuf muslim sendiri secara rasional juga menelorkan konsep-konsep manusia sesuai dengan keilmuwannya masing-masing, sehingga filsafat pendidikan Islam sebenarnya sudah menjadi bagian dari tradisi perbincangan pendidikan itu sendiri.
Pendidikan sendiri lebih diartikan sebagai upaya pemberdayaan potensi manusia seutuhnya, baik potensi aqliyah (intelektual), jasadiyah (fisik), khuluqiyah (perilaku) dan ruhiyah (spiritual). Upaya tersebut tentunya menimbulkan dampak yang luar biasa tentang bagaimana cara membentuk manusia yang memiliki potensi-potensi tersebut diatas. Tentang ke-bagaimana-an inilah kemudian muncul program-program pendidikan yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan muslim (ulama’) melalui lembaga-lembaga yang dikembangkannya itu, seperti sekolah Islam, madrasah, jami’ah, majelis khalaqah, majelis ta’lim dan lain sebagainya.
Persoalan pendidikan ternyata tidak hanya sebatas perdebatan tentang konsep manusia saja, akan tetapi juga pada masalah konstruksi pengetahuan (epistemologi). Konstruksi pengetahuan yang dibangun dalam tradisi Islam pada hakekatnya adalah menjaga pengetahuan yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Usaha untuk menjaga pengetahuan tersebut berdampak pada model pembelajaran ciri khas Islam yaitu lebih cenderung menghafal ayat-ayat Allah atau mengutip pengetahuan langsung dari orang-orang yang memiliki tingkat kepercayaan dan hafalan yang kuat, dan yang lebih penting lagi sebenarnya posisi guru dalam pembelajaran (ta’lim) ini. seorang guru harus betul-betul seorang yang memiliki kredibiltas keilmuwan yang mumpuni serta memiliki kesinambungan pengetahuan sampai pada Rasulullah SAW atau dalam bahasa sederhananya adalah harus memiliki sanad yang jelas, sehingga pengetahuan itu betul-betul terjaga. Guru tidak diperbolehkan membiarkan muridnya untuk melakukan konstruksi pengetahuan sendiri tanpa ada petunjuk darinya (irsyadu ustadzin) atau dalam bahasa sekarang adalah lebih ke model teacher centre.
Pandangan manusia mutakhir menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan melakukan konstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga meskipun tanpa seorang gurupun manusia sebenarnya mampu memperoleh pengetahuan tertentu, sehingga posisi guru sebenarnya hanya sebagai fasilitator siswa yang melakukan proses pembelajaran. Paradigma ini kemudian dikenal dengan model student centre, dimana siswalah yang harus aktif menemukan pengetahuannya itu.
Nah, pandangan mutakhir ini sebenarnya tidak bertentangan dengan pandangan Islam, karena dalam al-Qur’an sendiri ternyata manusia sebenarnya diberikan pengetahuan oleh Allah jauh sebelum manusia dilahirkan di muka bumi ini, sehingga sebenarnya semua pengetahuan yang diperoleh oleh manusia ketika terlahir di muka bumi ini adalah hanya sebatas mengingat kembali. Akan tetapi perlu diingat bahwa proses rememory pengetahuan itu sebenarnya masih membutuhkan bimbingan seorang yang sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih dahulu diperolehnya. Orang yang membimbing inilah yang kemudian disebut sebagai guru baik itu guru dari keluarga (orang tua) maupun dari masyarakat.
Walhasil, pendidikan Islam sebenarnya diciptakan dari konsep manusia dan konstruksi tentang pengetahuan itu sehingga terbreakdown dalam model, strategi, program dan kurikulum yang sangat khas itu.
Al-Qur’an diturunkan dimuka bumi ini membawa berbagai macam konsep kehidupan bagi manusia seluruh alam. Salah satunya adalah konsep tentang manusia seperti al-Insan, al-Basyar, Khalifah, ‘abdun, al-Nas dan lain sebagainya. Pada hakekatnya obyek pendidikan sebenarnya manusia, sehingga konsep-konsep dan penafsiran tentang manusia dalam al-Qur’an menjadi obyek perdebatan yang sangat tajam yang orientasi akhirnya adalah manusia sempurna (Insan Kamil). Apalagi Rasulullah SAW telah menunjukkan semua perilakunya yang begitu sempurna sehingga sosok Beliau merupakan the model bagi perilaku manusia seluruh dunia ini.
Para filsuf muslim sendiri secara rasional juga menelorkan konsep-konsep manusia sesuai dengan keilmuwannya masing-masing, sehingga filsafat pendidikan Islam sebenarnya sudah menjadi bagian dari tradisi perbincangan pendidikan itu sendiri.
Pendidikan sendiri lebih diartikan sebagai upaya pemberdayaan potensi manusia seutuhnya, baik potensi aqliyah (intelektual), jasadiyah (fisik), khuluqiyah (perilaku) dan ruhiyah (spiritual). Upaya tersebut tentunya menimbulkan dampak yang luar biasa tentang bagaimana cara membentuk manusia yang memiliki potensi-potensi tersebut diatas. Tentang ke-bagaimana-an inilah kemudian muncul program-program pendidikan yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan muslim (ulama’) melalui lembaga-lembaga yang dikembangkannya itu, seperti sekolah Islam, madrasah, jami’ah, majelis khalaqah, majelis ta’lim dan lain sebagainya.
Persoalan pendidikan ternyata tidak hanya sebatas perdebatan tentang konsep manusia saja, akan tetapi juga pada masalah konstruksi pengetahuan (epistemologi). Konstruksi pengetahuan yang dibangun dalam tradisi Islam pada hakekatnya adalah menjaga pengetahuan yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Usaha untuk menjaga pengetahuan tersebut berdampak pada model pembelajaran ciri khas Islam yaitu lebih cenderung menghafal ayat-ayat Allah atau mengutip pengetahuan langsung dari orang-orang yang memiliki tingkat kepercayaan dan hafalan yang kuat, dan yang lebih penting lagi sebenarnya posisi guru dalam pembelajaran (ta’lim) ini. seorang guru harus betul-betul seorang yang memiliki kredibiltas keilmuwan yang mumpuni serta memiliki kesinambungan pengetahuan sampai pada Rasulullah SAW atau dalam bahasa sederhananya adalah harus memiliki sanad yang jelas, sehingga pengetahuan itu betul-betul terjaga. Guru tidak diperbolehkan membiarkan muridnya untuk melakukan konstruksi pengetahuan sendiri tanpa ada petunjuk darinya (irsyadu ustadzin) atau dalam bahasa sekarang adalah lebih ke model teacher centre.
Pandangan manusia mutakhir menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan melakukan konstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga meskipun tanpa seorang gurupun manusia sebenarnya mampu memperoleh pengetahuan tertentu, sehingga posisi guru sebenarnya hanya sebagai fasilitator siswa yang melakukan proses pembelajaran. Paradigma ini kemudian dikenal dengan model student centre, dimana siswalah yang harus aktif menemukan pengetahuannya itu.
Nah, pandangan mutakhir ini sebenarnya tidak bertentangan dengan pandangan Islam, karena dalam al-Qur’an sendiri ternyata manusia sebenarnya diberikan pengetahuan oleh Allah jauh sebelum manusia dilahirkan di muka bumi ini, sehingga sebenarnya semua pengetahuan yang diperoleh oleh manusia ketika terlahir di muka bumi ini adalah hanya sebatas mengingat kembali. Akan tetapi perlu diingat bahwa proses rememory pengetahuan itu sebenarnya masih membutuhkan bimbingan seorang yang sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih dahulu diperolehnya. Orang yang membimbing inilah yang kemudian disebut sebagai guru baik itu guru dari keluarga (orang tua) maupun dari masyarakat.
Walhasil, pendidikan Islam sebenarnya diciptakan dari konsep manusia dan konstruksi tentang pengetahuan itu sehingga terbreakdown dalam model, strategi, program dan kurikulum yang sangat khas itu.
Langganan:
Postingan (Atom)