Selasa, 02 Februari 2010

Paradigma

Pada pelajaran kali ini kita coba mengupas apa itu paradigma. Istilah ini dalam diskusi ilmiah seringkali muncul sebagai istilah yang “bergengsi” dalam diskusi ilmiah. Istilah ini ternyata memiliki sejarah yang panjang kenapa sampai muncul sebagai istilah “resmi” dalam dunia ilmu pengetahuan.

Konon istilah ini dimunculkan oleh Thomas Khunt dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962). Tujuan utama Kuhn dalam bukunya ini sebenarnya untuk melakukan pertentangan asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuwan pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan itu terjadi secara kumulatif. Pandangan demikian mendapat dukungan antara lain dengan melalui penerbitan buku teks yang memberikan kesan yang sama bahwa ilmu berkembang secara kumulatif. Menurut Kuhn pandangan itu merupakan mitos yang mesti harus dihilangkan. Menurut Kuhn perkembangan pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif akan tetapi terjadi secara revolusi. Ia berpendapat bahwa sementara kumulatif memainkan peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi secara revolusi. Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah sebagai berikut:

Paradigma1---Normal science---Anomalies----Crisis----Revolusi----Paradigma2

Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.

Normal science adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan, dimana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (anomalies) karena tidak mampunya paradigma 1 memberikan penjelasan terhadap persoalan yang timbul secara memadai. Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan timbul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi akan terjadi dan paradigma yang baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh paradigma sebelumnya. Jadi dalam periode revolusi itu terjadi suatu perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama mulai menurun pengaruhnya, digantikan oleh paradigma baru yang lebih dominan. (lihat;Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terj. Alimandan,4)

Nah, tadi adalah pengertian paradigma secara teori, sekarang coba kita maknai secara lepas. Dalam sebuah seminar Stephan Cove tentang The Seven Habit dijelaskan bahwa paradigma merupakan peta dalam pikiran manusia (map in human mind. Jadi manusia sebenarnya memiliki peta yang dijadikan sebagai acuan berpikirnya dia, sehingga ketika manusia bertindak atau melakukan sesuatu pasti berangkat pada acuan tersebut. Acuan yang dipakai manusia bisa berupa kepercayaan terhadap sesuatu yang sudah pasti bersifat umum. Sesuatu yang sudah digeneralisasi kebenarannya secara umum inilah yang kemudian menjadi sistem nilai yang kemudian dijadikan sebagai pandangan dunia manusia.

Jaman dahulu kaum gereja menyatakan bahwa bumi merupakan pusat tatasurya, menjadi paradigma masyarakat pada saat itu, sehingga mereka mempunyai pandangan dunia seperti itu, namun ketika pandangan umum tersebut dibantah oleh penelitian yang dilakukan oleh Galileo yang sebelumnya diawali dengan dalil copernicus yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan hukum-hukum logika alam raya dan akhirnya dibuktikan secara nyata oleh Galileo, maka paradigma tersebut mulai krisis artinya krisis kepercayaan terhadap nilai yang sudah dianut oleh masyarakat saat itu, sehingga terjadilah revolusi dalam struktur otak manusia tentang realitas tersebut yaitu pusat tata surya, walhasil terjadilah paradigma baru dalam pengetahuan manusia bahwa bumi bukan pusat tata surya akan tetapi mataharilah yang menjadi pusat tata surya.

Wallahu a’lam bi al-Sawab

Kamis, 28 Januari 2010

Agama, filsafat dan pengetahuan

Ketiga istilah tersebut diatas kerapkali kita dengar dalam pelajaran filsafat, dan memang ketiganya memiliki perbedaan dimensi. Filsafat dimensinya adalah rasio atau akal, sedangkan agama dimensinya adalah kepercayaan batin manusia, sedangkan pengetahuan dimensinya adalah empiris atau pengalaman nyata.

Filsafat biasanya membangun logika-logika, hubungan sebab akibat yang ada di dalam otak manusia sehingga manusia mampu membuat prediksi-prediksi logis obyek yang dicerap oleh manusia. Contoh paling sederhana adalah “Jika kita merasa lapar, maka tentu prediksi logisnya adalah kita akan makan”, “Jika kita merasa mengantuk, maka prediksi logisnya adalah tentu kita akan tidur”. Jadi kalimat yang dibangun merupakan kalimat bersyarat atau kondisional (Jumlah Syartiyah atau Conditional Sentence). Kalimat yang dibangun memiliki syarat yang akan menyebabkan terjadinya sesuatu.

Bangunan bersyarat tersebut biasanya sangat lemah jika terjadi pada dunia empiris (pengalaman), karena syarat-syarat tersebut ternyata kadang tidak terwujud secara riil dalam dunia nyata. Orang yang merasa lapar, ternyata ada juga yang tidak berbuat makan akan tetapi langsung tidur, karena dia memang terbiasa tidur kalau merasa lapar atau mungkin karena sebab yang lainnya. Nah, dimensi inilah yang disebut dimensi empiris. Dimensi ini membutuhkan pengalaman langsung manusia jadi tidak membutuhkan syarat akan tetapi langsung pada demonstrasi. Manusia modern banyak menganut azas ini, karena mereka menginginkan sesuatu itu benar-benar riil bukan sebuah perkiraan atau yang lainnya. Produk yang paling nyata dari gaya berfikir ini adalah terciptanya alat-alat canggih, karena alat-alat ini memang kebanyakan digunakan untuk membuktikan obyek tertentu, seperti teleskop untuk melihat benda-benda jauh dan lain sebagainya.

Kedua dimensi diatas juga akan tempak lemah ketika ada dimensi yang sangat tidak bersentuhan dengan dimensi akal dan pengalaman yaitu dimensi keyakinan. Dimensi ini yang disebut dimensi agama. Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan pada diri manusia yang terwujud tanpa ada hubungan sebab akibat maupun pengalaman manusia. Contoh sederhana adalah ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil tiba-tiba dihadapan kita ada kucing menyeberang dan kita tabrak kucing tersebut. Maka dalam benak kita pasti akan membuat sebuah kesimpulan yang sangat spontan yaitu kita pasti akan tertimpa musibah. Kesimpulan kita akan tertimpa musibah tersebut sebenarnya muncul secara tiba-tiba tanpa ada hubungan sebab akibatnya.

Wallahu A'lam bi al-Sawab

Rabu, 27 Januari 2010

Ahli Falak vs Ahli Ma'rifat

Konon dahulu Ranggawarsito dikenal sebagai ahli falak yang luar biasa, semua ramalannya hampir pasti benar.

Suatu saat Ranggawarsito bertemu dengan Kyai Besari, dan menantang untuk menebak berapa lembar daun dari pohon yang ada di pinggir jalan itu jatuh" Kyai ayo, kira-kira berapa lontar daun itu jatuh dalam satu hari?", Kyai Bestari menjawab "Kalau saya menjawab nanti yang jatuh ada 20 lontar, sedangkan Ranggawarsita menjawab "Kalau menurutku nanti yang jatuh ada 10 lontar daun, dalam satu hari"..

Walhasil, ditunggulah hasil dari tebakan itu dalam satu hari, ternyata setelah sekian lama ditunggu dan waktu hampir satu hari kurang sekian saat, yang jatuh hanya 10 lontar. Ranggawarsita berkata "Wahai Kyai ternyata saya yang menang....", ternyata yang jatuh ada 10 lontar. Namun, tiba-tiba datanglah Dokar (Delman, red; Jawa) melintas pohon tersebut, dan jatuhlah beberapa lontar daun sebanyak 10 lontar. Berkatalah kyai Bestari "Kamu salah, coba sekarang hitung lagi yang jatuh"...., dan ternyata daun yang jatuh ada 20.....

Wallahu A'lam bi al-Sawab