Minggu, 20 Desember 2009

Logika berpikir orang Islam

Islam sebenarnya punya tradisi berfikir yang sangat khas, karena pernyataan-pernyataan yang dibangun oleh orang Islam disandarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis. Dari sandaran-sandaran tersebut memunculkan hukum-hukum logika yang sangat unik. Hal itu disebabkan pengambilan keputusan (tasdiq) kadangkala beracuan pada realitas (korespondensi) dengan gaya induksinya, atau bisa juga beracuan pada logika pernyataan (koherensi) dengan gaya deduksinya, atau bisa juga beracuan pada sebuah kepercayaan. Nah, gaya yang ketiga ini menjadi ciri khas logika muslim, misalkan ada ayat-ayat (pernyataan-pernyataan) tentang eksistensi malaikat, jin, syetan dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan realitas transendental (realitas ghaib), sehingga penyimpulan (tasdiq) terhadap realitas tersebut tidak setia dengan fakta atau tidak setia dengan hukum-hukum logika berfikir manusia akan tetapi lebih setia pada realitas ghaib tersebut. Gaya berfikir semacam ini, mungkin yang dikenal sebagai gaya berfikir bayani, dalam konteks hukum logika, akan tetapi bisa juga gaya berfikir irfani, dalam konteks sistem kepercayaan muslim.

Kita coba membahas logika berfikir tersebut, misalnya dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Jangan mendekati perzinahan, karena itu merupakan perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan”. Jika kita tarik kalimat proposisi hukumnya adalah sebagai berikut:
“Semua perbuatan yang mendekati zina merupakan perbuatan keji dan jelek” (premis mayor)
“ Pacaran merupakan perbuatan yang mendekati perzinahan” (premis minor)
“Jadi pacaran merupakan perbuatan yang keji dan jelek” (kesimpulan)

Pernyataan tersebut diatas, menjadi kaidah-kaidah fiqih, sehingga dalam kaidah tersebut terumuskan proposisi-proposisi pernyataan kesimpulan. Jadi para fuqaha sebenarnya telah memberikan sentuhan-sentuhan logika berfikir yang sangat sistematis, sehingga Islam memiliki tradisi berfikir yang sangat khas tersebut.

Hukum-hukum yang diproduksi oleh Islam para fuqaha sendiri juga berbeda dengan produk hukum yang lain. Kita contohkan saja dengan produk hukum yang ada di Indonesia sendiri, dimana pernyataan kebenarannya hanya ada dua pilihan yaitu benar atau bersalah. Jadi tampak sekali hitam putih, jika si A melakukan perbuatan tertentu, maka hukumnya kalau tidak salah ya tidak benar.

Di tradisi para fuqaha sendiri lebih berhati-hati (ihtiyatan), karena segala perbuatan seseorang bisa saja dalam kategori yang sangat dilematis, karena mungkin saja dia mengkonsumsi barang yang salah (haram), akan tetapi demi kemaslahatan (kebenaran). Sehingga para fuqaha memproduksi kategorisasi hukum menjadi 5 kategori yaitu halal, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Penggolongan oleh fuqaha ini tampaknya dilakukan melihat kompleksitas pernyataan hukum yang serba bisa “ditembus” sana ini, sehingga bisa-bisa pernyataan hukum terus dalam perdebatan yang sangat kusir sekali dan tidak ada solusi hukum sama sekali.

Kita mungkin baru saja mendengar kabar bahwa para jama’ah haji sebelum pergi haji tahun ini disuntik dengan semacam serum anti flu babi. Dan konon, bahan dari serum tersebut diambilkan dari imun (kekebalan) babi itu sendiri. Analoginya bahwa manusia sebenarnya mempunyai sistem kekebalan tubuh ketika manusia mengalami gangguan atau sakit secara alami. Ternyata babi dan hewan-hewan yang lain juga memiliki sistem kekebalan tubuh, ketika dia sakit. Sehingga ketika babi terkena penyakit flu, maka secara otomatis sistem kekebalan tubuhnya babi akan secara otomatis menolak. Nah, sistem kekebalan tubuh (imun) inilah yang kemudian oleh para pakar kesehatan diambil untuk dijadikan obat penawar kepada manusia yang terkena virus flu babi, sehingga suntikan tersebut berasal dari babi.

Nah, problem-problem semacam ini, harus dipahami betul oleh para fuqaha, agar mampu menyikapi bagaimana sebenarnya hukum penyuntikan tersebut, karena Rasulullah SAW sendiri juga pernah menyatakan dalam sebuah hadis tentang lalat, agar ketika ada air minum yang dihinggapi lalat jangan keburu untuk membuang minuman tersebut, akan tetapi lalat tersebut ditenggelamkan semuanya dan diperbolehkan untuk diminum, karena menurut hadis tersebut dinyatakan bahwa pada sayap lalat itu ada racum dan sebelahnya adalah penawar. Padahal, lalat sebenarnya hewan yang menjijikan dan mungkin bisa dikategorikan haram akan tetapi karena dia bisa memberikan kesembuhan, maka posisi lalat tidak lagi menjadi hewan yang haram.

Fenomena seperti ini, dalam tradisi Islam menimbulkan gaya dan corak logika pengetahuan yang baru, dan kadang obyek realitas yang dicontohkan dalam tradisi hukum logika tersebut tidak setia dengan fakta-fakta tertentu. Kategorisasi hukum yang diproduksi oleh para fuqaha sebenarnya mencerminkan bahwa hukum Islam sebenarnya hukum yang lebih berhati-hati dalam menempatkan posisi sebuah kasus tertentu dan juga sebenarnya mencerminkan bahwa sebuah kasus tertentu sebenarnya memiliki kompleksitas yang tidak sederhana.

Kamis, 17 Desember 2009

Tradisi filsafat pendidikan Islam

Salah seorang filsuf mastur bertanya kepadaku tentang apakah ada tradisi filsafat pendidikan Islam...pertanyaan ini sederhana tapi sangat mendasar dan membutuhkan pemikiran yang utuh untuk memahami pertanyaan seperti ini karena kompleksitas istilah yang mungkin membutuhkan banyak penafsiran, hanya saja persoalan itu mungkin bisa kita jawab mulai dari diturunkannya al-Qur’an dan Muhammad SAW di muka bumi ini.

Al-Qur’an diturunkan dimuka bumi ini membawa berbagai macam konsep kehidupan bagi manusia seluruh alam. Salah satunya adalah konsep tentang manusia seperti al-Insan, al-Basyar, Khalifah, ‘abdun, al-Nas dan lain sebagainya. Pada hakekatnya obyek pendidikan sebenarnya manusia, sehingga konsep-konsep dan penafsiran tentang manusia dalam al-Qur’an menjadi obyek perdebatan yang sangat tajam yang orientasi akhirnya adalah manusia sempurna (Insan Kamil). Apalagi Rasulullah SAW telah menunjukkan semua perilakunya yang begitu sempurna sehingga sosok Beliau merupakan the model bagi perilaku manusia seluruh dunia ini.
Para filsuf muslim sendiri secara rasional juga menelorkan konsep-konsep manusia sesuai dengan keilmuwannya masing-masing, sehingga filsafat pendidikan Islam sebenarnya sudah menjadi bagian dari tradisi perbincangan pendidikan itu sendiri.

Pendidikan sendiri lebih diartikan sebagai upaya pemberdayaan potensi manusia seutuhnya, baik potensi aqliyah (intelektual), jasadiyah (fisik), khuluqiyah (perilaku) dan ruhiyah (spiritual). Upaya tersebut tentunya menimbulkan dampak yang luar biasa tentang bagaimana cara membentuk manusia yang memiliki potensi-potensi tersebut diatas. Tentang ke-bagaimana-an inilah kemudian muncul program-program pendidikan yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan muslim (ulama’) melalui lembaga-lembaga yang dikembangkannya itu, seperti sekolah Islam, madrasah, jami’ah, majelis khalaqah, majelis ta’lim dan lain sebagainya.

Persoalan pendidikan ternyata tidak hanya sebatas perdebatan tentang konsep manusia saja, akan tetapi juga pada masalah konstruksi pengetahuan (epistemologi). Konstruksi pengetahuan yang dibangun dalam tradisi Islam pada hakekatnya adalah menjaga pengetahuan yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Usaha untuk menjaga pengetahuan tersebut berdampak pada model pembelajaran ciri khas Islam yaitu lebih cenderung menghafal ayat-ayat Allah atau mengutip pengetahuan langsung dari orang-orang yang memiliki tingkat kepercayaan dan hafalan yang kuat, dan yang lebih penting lagi sebenarnya posisi guru dalam pembelajaran (ta’lim) ini. seorang guru harus betul-betul seorang yang memiliki kredibiltas keilmuwan yang mumpuni serta memiliki kesinambungan pengetahuan sampai pada Rasulullah SAW atau dalam bahasa sederhananya adalah harus memiliki sanad yang jelas, sehingga pengetahuan itu betul-betul terjaga. Guru tidak diperbolehkan membiarkan muridnya untuk melakukan konstruksi pengetahuan sendiri tanpa ada petunjuk darinya (irsyadu ustadzin) atau dalam bahasa sekarang adalah lebih ke model teacher centre.

Pandangan manusia mutakhir menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan melakukan konstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga meskipun tanpa seorang gurupun manusia sebenarnya mampu memperoleh pengetahuan tertentu, sehingga posisi guru sebenarnya hanya sebagai fasilitator siswa yang melakukan proses pembelajaran. Paradigma ini kemudian dikenal dengan model student centre, dimana siswalah yang harus aktif menemukan pengetahuannya itu.

Nah, pandangan mutakhir ini sebenarnya tidak bertentangan dengan pandangan Islam, karena dalam al-Qur’an sendiri ternyata manusia sebenarnya diberikan pengetahuan oleh Allah jauh sebelum manusia dilahirkan di muka bumi ini, sehingga sebenarnya semua pengetahuan yang diperoleh oleh manusia ketika terlahir di muka bumi ini adalah hanya sebatas mengingat kembali. Akan tetapi perlu diingat bahwa proses rememory pengetahuan itu sebenarnya masih membutuhkan bimbingan seorang yang sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih dahulu diperolehnya. Orang yang membimbing inilah yang kemudian disebut sebagai guru baik itu guru dari keluarga (orang tua) maupun dari masyarakat.

Walhasil, pendidikan Islam sebenarnya diciptakan dari konsep manusia dan konstruksi tentang pengetahuan itu sehingga terbreakdown dalam model, strategi, program dan kurikulum yang sangat khas itu.

Kamis, 10 Desember 2009

Manusia adalah makhluk hidup yang mampu memberikan nama

Dunia ilmu pengetahuan telah banyak memberikan definisi tentang manusia, ada yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang berfikir (al-Hayawan al-Natiq), ada yang menyebut dengan makhluk sosial (homo sociality), ada yang menyebut dengan homo economicus yaitu makhluk hidup yang mampu bertahan dengan prinsip-prinsip ekonominya dan lain sebagainya. Nah, definisi diatas ternyata definisi yang tidak terbantahkan dan memang tidak dimiliki oleh makhluk hidup yang lain selain manusia.

Coba anda lihat definisi pada judul diatas, manusia adalah makhluk hidup yang mampu memberikan nama. Apakah benar definisi diatas???pertanyaan ini membutuhkan pengujian pada identitas diatas, baik secara koherensi, maupun korespondensi. Sekarang coba kita simbolkan dulu istilah diatas. Misalkan manusia kita beri symbol X, sedangkan makhluk hidup yang mampu memberikan nama adalah Y, sedangkan adalah kita bias simbolkan dengan =. Sehingga pernyataan manusia adalah makhluk hidup yang mampu memberikan nama dengan symbol (X = Y), X merupakan variable identitas yang mendefinisikan, sedangkan Y merupakan variable identitas yang didefinisikan, karena X = Y, maka yang mendefinisikan dengan yang didefinisikan harus memiliki nilai yang sama, sehingga, jika X=Y, maka Y=X. uji pernyataan diatas merupakan uji kebenaran secara koherensi.


Untuk itu, maka coba jika Y kita jadikan pada pernyataan semula yaitu makhluk hidup yang mampu memberikan nama adalah manusia. Dengan pernyataan diatas, maka terjadi dugaan bahwa semua makhluk hidup yang mampu memberikan nama adalah manusia. Sekarang kita mencoba dengan uji korespondensi, yaitu apakah benar selain manusia tidak ada makhluk hidup yang mampu memberikan nama. Coba kita buktikan satu persatu; (1) Hewan, apakah hewan memiliki kemampuan memberikan nama pada obyek tertentu???tentu jawabannya adalah tidak bisa, (2) Tumbuhan, apakah dia mampu juga?maka jawabannya adalah tidak juga, sekarang yang ke (3) Malaikat dan Iblis, dalam ayat al-Qur’an disebutkan bahwa malaikat tidak mampu menyebutkan semua nama yang sudah diajarkan Allah kepadanya, sehingga para malaikat tertunduk kalah dengan Adam.

Khusus dalil nomor tiga ini sebenarnya masih tidak bisa dikategorikan dalil kebenaran korespondensi, karena malaikat dan jin masih bukan menjadi realitas obyektif yang sebenarnya. Mungkin bisa kita kategorikan sebagai dalil Bayani, yaitu kebenaran yang di peroleh dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadis, sebagai sumber kebenarannya.. jadi proposisi manusia, malaikat dan jin dibangun berdasarkan pernyataan-pernyataan dalam al-Qur’an dan al-Hadis.


Pernyataan yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut sebenarnya tidak serta merta Adam diperintah Allah untuk menyebutkan nama saja, akan tetapi ketika menyebutkan nama sebenarnya bias terjadi ketika Adam mampu membedakan antara satu obyek dengan obyek yang lain itu artinya Adam sebenarnya juga mampu memberikan nama pada obyek yang dia kenal. Sehingga kemampuan inilah yang membuat para malaikat tunduk, hanya saja Iblis tidak mau mengakui kemampuan manusia ini. Jadi secara empiric ternyata juga dibuktikan bahwa selain manusia tidak ada makhluk lain yang dapat memberikan nama pada suatu obyek tertentu. Karenanya definisi diatas sangat kuat dan tidak dapat dibantahkan.

Rabu, 02 Desember 2009

Reorientasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam

Orientasi pendidikan Islam masa kini sebenarnya lebih berusaha untuk melepaskan bayang-bayang keterkungkungan masa kegelapan yang selama ini dialami oleh umat Islam seluruh dunia dan lebih beromantika pada masa kejayaan Islam pada jama keemasannya yang sampai memproduk para tokoh muslim handal di bidang pengetahuan dan agama.

Pengetahuan dan agama sempat menjadi problem keresahan umat Islam, karena sejarah di dunia Barat ternyata pengetahuan dan agama tidak ketemu sama sekali. Pengetahuan merupakan bagian yang terpisah dan memang harus dipisahkan dari agama, karena berkaca dari kasus Galeleo yang menyatakan bahwa fatwa para ulama gereja yang menyatakan bahwa pusat tata surya adalah bumi ternyata tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, sehingga posisi agama menjadi rawan kebenarannya yang selama ini dipercayai sangat absolut.
Umat Islam sendiri juga ditakutkan dengan melakukan ijtihad-ijtihad (berfikir kreatif), karena persyaratan atau standar yang sangat sulit untuk bisa dicapai oleh generasi muslim masa kini. Seorang Mujtahid haruslah seorang yang zuhud, hafal al-Qur’an, hafal Hadis sekian ribu dan lain sebagainya. Standar yang cukup ideal ini menjadi semacam ketakutan umat Islam untuk melakukan inovasi-inovasi pemikiran yang bisa menjadikan peradaban Islam maju.

Pada saat ini tampaknya ketakutan itu mulai “pudar” dikarenakan tuntutan dan problem masyarakat yang luar biasa harus betul-betul dipenuhi, sebagian ada yang melakukan ijtihad itu dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan ulama’ (ijma’), ada juga yang melepaskan diri untuk tidak bermadzhab (non madzhabi). Gerakan untuk melepaskan “kungkungan” madzhab ini lebih cenderung melakukan liberalisasi gaya berfikir baik dari kalangan golongan Islam tradisional, modern maupun trans nasional meskipun hasil berfikir liberal mereka masih belum bisa menjadi standar baku bagi perilaku umat Islam, akan tetapi gerakan tersebut cukup menghentakan golongan “tua” seperti yang terjadi di organisasi sosial ke-Islaman yang ada di negeri Indonesia dengan gerakan liberalisasi model mereka sendiri. Liberalisasi ini sebenarnya lebih bermakna pembebasan gaya berfikir saja dan bukan berarti liberalisasi ini cenderung ke arah pe”murtad”an atau penghancuran terhadap syariat Islam, akan tetapi lebih ke arah berfikir non madzhabi.

Gerakan yang lebih ekstrim lagi di tubuh umat Islam adalah lebih ke arah inovasi-inovasi keimanan, seperti adanya gerakan yang percaya adanya nabi setelah Rasulullah SAW, atau gerakan muslim yang percaya pada turunnya wahyu pada abad ini. Gerakan ini muncul sebenarnya dalam rangka memecahkan problem sosial yang mungkin boleh dikatakan “akut” dan harus betul-betul ada solusi atau pikiran-pikiran inovasi (ijtihad) agar problem tersebut cepat teratasi.

Di dunia pendidikan sendiri gerakan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama mulai gencar, karena para ilmuwan muslim masa kini sangat mempercayai bahwa pengetahuan dan agama sebenarnya bisa bersatu. Dampak yang sangat signifikan dari kepercayaan ini adalah terciptanya sistem pendidikan berparadigma integrasi dimana-mana. Di Indonesia sendiri pendidikan Islam mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi besar-besaran merancang kurikulum berparadigma integrasi dan terbukti sangat sukses diterima di masyarakat. Masyarakat merasa pendidikan agama perlu disajikan di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah. Disamping dapat menghantarkan peserta didik yang memiliki ilmu pengetahuan dan agama juga dikarenakan ketidaksempatan dan ketidakmampuan masyarakat untuk melakukan pendidikan di rumah atau keluarganya, karena keterbatasan pengetahuan dan juga keterbatasan waktu karena disibukkan oleh pekerjaan dan profesinya masing-masing.
Umat Islam juga merasa ketertinggalan dengan dunia barat, sehingga mau tidak mau mereka harus mengejar ketertinggalan tersebut agar tidak dijajah dan dihegemoni baik secara pemikiran maupun ekonomi yang pada ujungnya menurut kepercayaan umat Islam merupakan indikator tumbangnya sendi-sendi agama Islam

Rabu, 18 November 2009

Kebenaran dan Bagaimana cara mengujinya

Suatu saat surat kabar menceritakan kasus Prita yang di penjara gara-gara menuliskan email kepada teman-temannya tentang keluhan dia terhadap pelayanan rumah sakit yang konon katanya sudah bertaraf internasional. Nah, gara-gara email tersebut Prita dituntut oleh pihak rumah sakit karena mencemarkan nama baik rumah sakit yang bersangkutan. Prita konon katanya dituntut dengan pasal-pasal pencemaran nama baik sehingga dia langsung oleh polisi dijebloskan kedalam penjara. Kejadian ini menghebohkan masyarakat, dan sempat mengundang protes masyarakat bahkan pada akhirnya kasus ini mencuat di dunia politik nasional kita, semua tampak menjadi “pahlawan” bagi Prita yang pada akhirnya Prita dibebaskan dari penjara, meskipun pihak rumah sakit masih menuntut agar Prita masih harus dihukum, karena pelanggaran hukum itu.

Kasus tersebut dalam tema kali ini kita jadikan sampel pada perbincangan kali ini yaitu tentang kebenaran dan bagaimana cara mengujinya. Kebenaran secara substansi sebenarnya sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang atau masyarakat dengan kekuatan dan dorongan yang luar biasa sehingga masyarakat menerima pernyataan tersebut. Dorongan dan kekuatan itu bisa berupa logika-logika, bisa berupa bukti-bukti atau dalil-dalil atau bahkan bisa jadi sebuah kesepakatan masyarakat yang dihasilkan dari sebuah musyawarah bersama sehingga memiliki kekuatan hukum yang sangat dahsyat.

Pada kasus Prita sebenarnya kebenaran bisa kita kategorisasikan muncul dari kesepakatan atau akad masyarakat terhadap sebuah pernyataan yang akhirnya menjadi produk hukum. Dan kebetulan pernyataan tersebut adalah tentang “Pencemaran Nama Baik” dan menjadi salah satu pasal hukum di negeri kita ini, sehingga kasus Prita menurut pandangan pihak rumah sakit sangat merendahkan dan mencemarkan nama baik rumah sakit ini, karena pihak rumah sakit menganggap bahwa pelayanan mereka sebenarnya sudah “standar internasional” kok dilecehkan oleh ulah Prita tersebut. Sedangkan Prita sendiri menganggap bahwa email yang dikirimkan kepada temannya itu sebenarnya hanya curhat dia kepada temannya tanpa bermaksud menjelekkan nama baik rumah sakit tersebut.

Dari kedua belah pihak sebenarnya siapa yang benar dan siapa yang salah? Pertanyaan ini sebenarnya harus dijawab dengan menguji ulang pasal pencemaran nama baik tersebut. Uji ulang pasal tersebut harus dilakukan, karena kriteria sebuah pernyataan yang benar adalah ketika semua masyarakat meng”iya”kan pernyataan atau pasal tersebut. Dalam kasus ini pasal pencemaran nama baik ternyata mengundang protes masyarakat serta memunculkan multi tafsir sehingga kebenarannya masih debatable. Pasal tersebut harus betul-betul diuji lagi dengan memunculkan kasus-kasus baru, apakah kasus tersebut masih dipermasalahkan oleh masyarakat atau tidak sampai pada tingkat kejenuhan pernyataan tersebut artinya pernyataan atau pasal tersebut berulang-ulang dilontarkan oleh masyarakat sebagai pernyataan yang tidak bermasalah dan satu penafsiran.

Jadi kebenaran sebenarnya didapatkan ketika sebuah pernyataan itu di”amini” oleh semua masyarakat dan tidak menimbulkan beragam tafsir yang akhirnya pernyataan tersebut betul-betul sudah menjadi “kaprah” atau general di masyarakat.

Sekian pelajaran kali ini semoga pelajaran ini bukan merupakan pencemaran nama baik, dan tidak dituntut oleh pihak-pihak tertentu....

Selasa, 17 November 2009

The Superman


Salah seorang mahasiswi bertanya kepada saya yang dilayangkan pada sms yang intinya tentang bagaimana bisa mengukur kesempuranaan manusia di dunia pendidikan?padahal tidak ada manusia yang sempurna didunia ini.....

Pertanyaan ini menggugah saya untuk merenungkan kembali apa itu ke”sempurna”an. Kalau bisa kita istilahkan dengan manusia ber”kualitas” jadi manusia sempurna adalah manusia ber”kualitas”. Ke”sempurna”an atau kualitas memang tidak bisa diukur secara ideal seperti layaknya “Superman” yang bisa terbang, kuat, menolong orang yang lemah pokoknya serba “hero” lah atau seperti Rasulullah SAW yang tampaknya kita susah untuk meniru segala tindak tanduk kita seperti Beliau.

Namun, sebenarnya ketika manusia lahir dimuka bumi ini sudah dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga ke”sempurna”an atau kualitas itu juga akan terbentur oleh ruang dan waktu manusia tersebut. Manusia itu hidup di daerah atau wilayah mana sehingga ke”sempurna”an itu sebenarnya bisa didefinisikan menurut batas-batas wilayah tersebut, sehingga terwujudlah standar menurut daerah atau wilayah itu.

Standar merupakan patokan pernyataan yang betul-betul handal (reliable) dan general dan disepakati (muttafaq alaih) artinya masyarakat sepakat akan hal tersebut yaitu tentang ke”sempurna”an. Jika di wilayah tersebut masyarakat sepakat tentang “perilaku wanita perawan yang baik” misalnya menurut masyarakat tersebut sudah sepakat bahwa wanita perawan yang baik adalah jika pulangnya tidak larut malam, tidak menerima tamu laki-laki sampai tengah malam, sehingga yang menjadi kriteria ke”sempurna”an wanita yang perawan adalah yang tidak melakukan hal tersebut diatas.

Kesempurnaan manusia dalam dunia pendidikan

Jika kita memahami pernyataan diatas, maka sudah barang tentu ke”sempurna”an manusia di dunia pendidikan adalah yang sudah dipatok secara bersama-sama artinya ada standarisasi atau kriteria manusia yang akan dihasilkan dalam proses pendidikan yang sudah barangtentu ditandai dengan harus bisa diukur, dijangkau, diterima oleh dunia pendidikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur ke”sempurna”an manusia itu sendiri? Pertanyaan tersebut sebenarnya dijawab tidak akan jauh berbeda dengan proses ke”sempurna”an pada masyarakat seperti diatas, akan tetapi memang alat mengukur (instrumen) yang digunakan pada saat ini sangat bermacam-macam, karena memang dirasa sangat sulit untuk mengukur ke”sempurna”an manusia yang memiliki potensi yang beragam, atau bahkan memiliki kepribadian ganda yang memang itu menjadi ciri khas manusia.

Karenanya ke”sempurna”an akan terjadi jika sudah ada kesepakatan dan uji coba dilapangan sehingga semua orang akan menyatakan sama (generalisasi) tentang kriteria manusia sempurna (superman) yang akan dihasilkan oleh pendidikan. Misalnya saja pernyataan tentang menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Pernyataan tersebut sudah barang tentu disepakati bersama akan tetapi mungkin yang membedakan adalah indikator beriman dan bertaqwa itu menurut masing-masing wilayah atau mungkin agama akan berbeda, misalnya Islam memberikan ukuran beriman dan bertaqwa adalah manusia yang melakukan sholat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat atau pergi haji, sedangkan Kristen mungkin memiliki kriteria yang berbada dengan Islam. Itulah sebabnya ke”sempurna”an manusia sangat dibatasi oleh ruang dan waktu.


Wassalam.....

Senin, 26 Oktober 2009

Logika Sederhana Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif


Abdul Malik Karim Amrullah

Dalam dunia akademik di negeri kita tercinta ini seringkali kita diributkan dengan dua istilah tersebut diatas yaitu penelitian kualitatif dan kuantitatif. Yang kuantitatif mengklaim bahwa semua yang berkaitan dengan angka ya pasti berkaitan dengan kuantitatif sedangkan penelitian kualitatif mengklaim pokoknya yang berkaitan dengan penelitian-penelitian sosial yang bersifat analisis sosial dan lain sebagainya ya pastilah itu penelitian kualitatif. Selain itu juga para peneliti kuantitatif seringkali mengklaim bahwa penelitian dengan pendekatan inilah yang betul-betul mendekati kebenaran dan juga seakan-akan mereka menjustifikasi bahwa para peneliti kuantitatif lebih “hebat” logikaberfikirnya dan lain sebagainya, sedangkan para peneliti kualitatif tidak mempunyai logika berfikir yang “hebat”, mereka cenderung banyak mengolah kata-kata, kalimat-kalimat yang semestinya kesimpulannya hanya singkat jadi diolor-olor sehingga kerap kali penelitian kualitatif mesti laporannya panjang lebar dan lain sebagainya.

Obrolan dan perdebatan semacam ini sebenarnya menguras tenaga pikiran kita yang semestinya dari kedua belah pihak tidak usah mengolor-olor perdebatan kusir yang tak ada ujungnya ini.

Sekarang coba kita menelusuri logika berfikir antara keduanya. Kita mulai dari bagaimana proses ilmiah yang terjadi artinya proses kegiatan yang memproduksi ilmu pengetahuan yaitu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta. Jadi manusia akan memperoleh pengetahuan jika dia memulai kegiatannya dengan mengamati fakta terlebih dahulu kemudian dia mulai mengklasifikasi fakta tersebut menjadi kategorisasi-kategorisasi yang dia susun sendiri kemudian ia tarik sebuah pernyataan hukum setelah itu muncullah definisi tentang fakta baru yang dia temukan tadi dengan definisi yang sesuai dengan sifat-sifat fakta tersebut. Fakta-fakta diamati oleh manusia itu sifatnya partikular, karena dia adalah bagian-bagian dari fakta-fakta yang ada di seluruh alam raya ini sedangkan definisi itu sifatnya general, karena dia merupakan justifikasi atau kesimpulan akhir dari kumpulan beberapa fakta yang ada. Logika ini yang kemudian dikenal dengan logika induktif yang pada akhirnya dijadikan sebagai logika dari penelitian kualitatif. Artinya penelitian kualitatif sebenarnya mencari generaliasi dari fakta-fakta partikular teramati dan teranalisis tersebut. Jadi sebenarnya penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memproduksi teori bukan menguji teori. Teori dihasilkan ketika ada penelitian kualitatif.

Sedangkan penelitian kuantitatif sebenarnya hanya menguji teori apakah teori yang dihasilkan oleh peneliti kualitatif itu benar atau tidak sehingga ada asumsi atau bahkan bisa saja hipotesa atau dugaan sementara. Cara pengujiannya sebenarnya sangat sederhana yaitu hanya menguji definisi apakah benar definisi tersebut. Contohnya, definisi tentang manusia.
Manusia adalah makhluk yang berfikir, itu artinya apakah benar seluruh makhluk berfikir adalah manusia. Hal itu bisa disimbolkan dengan (M = M F). M itu artinya manusia, sedangkan MF artinya adalah mahluk berfikir, sedangkan simbol( =) merupakan definisi atau representasi dari kalimat “adalah”. Jadi kalau istilah (Manusia adalah makhluk berfikir) disimbolkan dengan (M=MF), kalau M itu bernilai 1, maka MF harus 1 (M = MF) artinya (1 = 1) tidak boleh (1 = 2), sehingga jika ada definisi manusia adalah makhluk hidup yang berfikir ketika dilakukan pembalikan pernyataan harus sama dengan yang didefinisikan, jadi harusnya “seluruh makhluk berfikir adalah manusia”, jika pernyataan tersebut dibalik lantas malah memperkuat entitas yang didefinisikan tersebut itu berarti definisi tersebut benar sesuai dengan hipotesis sebelumnya.

Logika berfikir semacam ini disebut dengan logika deduktif yaitu cara berfikir dimulai dari sesuatu yang general setelah itu mengurai menjadi sesuatu yang khusus (partikular). Sesuatu yang bersifat general merupakan definisi atau teori yang dilakukan penguraian dengan cara menguji definisi tersebut sehingga definisi tersebut menjadi indikator dari yang didefinisikan. Misalnya definisi tentang manusia adalah makhluk berfikir, maka makhluk berfikir tersebut merupakan indikator dari manusia bukan indikator dari makhluk selain manusia. Logika ini yang kemudian dipakai oleh penelitian kuantitatif.


Fakta-----Induksi------Teori------Deduksi-----Masalah------Pengujian-----Fakta


Logika ini sebenarnya jika kita pahami akan mempermudahkan pembelajar untuk belajar penelitian kuantitatif dan kualitatif.

Senin, 16 Maret 2009

Konsep tentang Realitas dan Implikasinya terhadap metodologi Penelitian

Reality atau realitas atau kenyataan atau dalam bahasa arabnya al-Haqiqah, seringkali menjadi perbincangan baik di masyarakat, sekolah sampai diperbincangkan dalam forum ini.

Dalam kamus Webster's II yang kebetulan gue dikasih waktu pertama kali datang ke Bradfoard ditemukan makna "reality" sebagai "The Quality or state of being actual or true atau one that is real atau bisa bermakna the totality of all existing things" (lihat Webster; 569) Siapa saja mungkin akan berbeda menterjemahkannya akan tetapi secara esensial akan terjadi pemaknaan yang sama yaitu sesuatu (kualitas) yang aktual atau yang mengada. jika kita mengatakan apakah ada Mulan Jameela(padahal Mulan Jameela tidak ada disitu), maka pertanyaan tersebut tentu akan dijawab ada, meskipun Mulan Jameela tidak ada disitu.Pertanyaan seperti adalah pertanyaan dalam kategori konsepsi yang masih berupa kualitas, artinya Mulan Jameela "ada" tapi tidak meng"ada" (existing). Nah, jika Mulan Jameela ada di dalam kontek pernyataan itu, maka Mulan Jameela itu ada (kualitas) dan jugameng"ada" (existing).

Realitas sebagaimana yang disebutkan diatas sudah barang tentu sesuatu yang "ada" dan meng"ada". Dia adalah sesuatu yang tangible mampu dipahami, mampu dilihat, mampu disentuh jadi sesuatuyang betul-betul ada. Namun, sebagian para filsuf mempunyai pandangan yang berbeda tentang reality. Ada yang memahami bahwa reality is producted by mind dan filsuf yang lain memandang bahwa reality is given out there.

Nah,perbincangan ini semakin menarik, karena ternyata ada dualitas konsepsi yang berbeda memandang realitas.Coba kita mulai mendiskusikan kedua hal tersebut.

Pertama, reality is producted by mind. Pandangan ini menyatakan bahwa realitas sebenarnya dikonstruksi oleh pikiranmanusia, dia ada karena manusia mengkontruksinya, jika manusia tidak mengkonstruksinya, maka reality itu tidak ada, contohnya, jika seorangakan merencanakan sesuatu pekerjaan yang sudah dia tuangkan dalam sebuah blueprint berupa jadwal pekerjaan, maka jika dia tidak menjalankan pekerjaan itu, tentu pekerjaan itu tidak bakalan wujud,tidak bakalan aktual atau bahasa kasarannya tidak akan meng"ada".Seorang arsitek yang mau membangun rumah, dia pasti akan membuat rancang bangun dalam blueprint nya, maka jika dia tidak membangun rumahtersebut sudah barang tentu dia (rumah itu) hanya sebatas konsep doang. Rumah itu hanya ada dalam benak pikirannya si arsitek tersebut, rumah itu tidak akan aktual. Jadi yang menjadi instrumen utamanya adalah pikiran manusia itu sendiri atau seringkali kita kenal sebagai subjectivity. Madzhab reality ini disebut sebagai madzhab idealism, salah satu penganutnya adalah Plato. Madzhab ini mungkin lebih menarik lagi jika kita kaitkan dengan metodologi penelitian yang sekarang kita sebagai mahasiswa kandidat doktor sering mempelajari ini.

Dalam metodologi penelitian setidaknya ada dua macam yaitu kuantitatif dan kualitatif. jika kita kaitkan pemahaman reality yang pertama, maka tampak ada persamaan dengan metode kualitatif dimana sipeneliti sebagai instrumen utama untuk melakukan justifikasi tentang reality.Seorang peneliti akan menyatakan bahwa realitas itu benar-benar ada,riil, sahih (valid), reliable dan lain sebagainya ditentukan oleh peneliti itu sendiri (meskipun masih menyaratkan justifikasi oranglain, akan tetapi peneliti sebagai key instrumen), penelitian kualitatif lebih membangun subyektivitas daripada obyektivitas, artinya jika subyek menyatakan sesuatu, maka obyek itu akan hadir,akan wujud atau akan meng"ada".

Madzhab yang kedua, menyatakan bahwa "reality is given out there".Jadi realitas itu benar-benar ada, bukan hasil konstruksi manusia. Dia betul-betul wujud, dia ada dan meng"ada". Sebuah batu misalnya, dia merupakan realitas yang nyata, memang dia sendiri ada, dia meng"ada"karena dia memproses dirinya menjadi sebuah batu. Sebatang pohon, dia memang betul-betul ada, wujud dan dia memang memproses dirinya untuk meng"ada" menjadi sebuah kayu. Madzhab ini dikenal dengan realisme, penganutnya adalah Aristoteles.

Nah, jika kita kaitkan dengan metodologi penelitian, maka lebih pas ke arah kuantitatif, karena diamembangun objectivity, artinya yang berhak menjustifikasi dirinyaadalah obyek itu sendiri, bukan subyek. karena obyek itu benar-benarada, dia (obyek) mempunyai otoritas untuk menyatakan dirinya sendiri.Pada dasarnya kuantitatif itu mengukur seberapa obyektif si obyek itu. Kalau obyeknya manusia, maka yang berhak menyatakan dia obyektif adalah dirinya sendiri (maksudnya obyek itu sendiri), bukan si peneliti tapiyang diteliti.

Dua pandangan besar ini akhirnya menjadi perdebatan yang sangat dikotomik, bahkan akhir-akhir saling menyalahkan satu dengan yanglainnya. Ada beberapa usaha untuk menjadikan keduanya, untuk duduk bersama dan saling mengisi satu sama lain. Kalau dalam penelitian ini ada usaha untuk mixing antara keduanya. Namun, permasalahannya adalah dasar mixing itu sendiri itu dari sisi mana. Nah, ini sampai sekarangmasih dicari terus sampai saat ini penulis belum menemukan dasar ini.Tolong ya...jika ada temen-temen yang sudah menemukan landasanberpikir mixing itu dikasih saya....bagi-bagi ilmu ya....thanks Wallahu A'lam. --- End forwarded message ---

Silabus Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Abdul Malik Karim Amrullah
Semester : IV
Fakultas : Tarbiyah
Jurusan : IPS


1. Definisi fisafat, filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
2. Ruang lingkup filsafat pendidikan Islam
3. Obyek material dan obyek formal
4. Metode mempelajari filsafat pendidikan Islam
5. hakikat manusia sebagai makhluk pedagogis menurut Islam
6. Sumber dasar pendidikan Islam, Hakekat tujuan dan fungsi pendidikan Islam
7. Aliran-aliran filsafat pendidikan Islam dan barat
8. Konsep Pendidikan menurut Islam : Tarbiyah, ta'lim dan ta'dib,
9. Kepribadian muslim dan cara-cara pembentukannya
10. Peta Filsafat Pendidikan Islam Indonesia
11. Konsep (falsafah) Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam :
a. Hakikat Madrasah
b. Landasan ideal madrasah di Indonesia
c. Landasan operasional madrasah di Indonesia
12. Falasafah pesantren, Hakikat (pengertian) pesantren, Tujuan pesantren
13. Eksistensi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia : landasan ideal dan operasional, tujuan didirikan perguruan tinggi Islam
14. Konsep ulul albab, Pengembangan Kurikulum Ulul Albab UIN Malang, Penjabaran Ulul Albab

Silabus Filsafat Islam

Silabus Filsafat Islam

Standar Kompetensi
Mahasiswa mampu memahami filsafat Islam beserta sejarahnya

1. Pengertian Filsafat Islam ; sejarah dan perkembangannya
2. Filsafat, ilmu dan agama
3. Kontribusi para filsuf muslim terhadap pemikiran barat modern
4. Nalar-nalar Islam
5. Era kemunduran filsafat Islam
6. Al-Kindi tentang Tuhan dan Manusia
7. Al-Farabi tentang Tuhan dan manusia
8. Ibnu Sina Tuhan, alam dan manusia
9. Ibnu Maskawaih riwayat hidup dan pemikirannya tentang akhlak
10. Al-Ghazali; riwayat hidup dan pemikirannya tentang akhlak dan pendidikan
11. Suhrawardi ; riwayat hidup dan pemikirannya tentang epistemologi
12. Ibnu Rusyd; riwayat hidup dan pemikirannya tentang Tuhan, alam dan manusia
13. Mula sadra riwayat hidup, karya dan pemikirannya tentang epistemologi
14. Ibnu Thufail; riwayat hidup dan pemikirannya

Bacaan
a. Al-Ghazali, 1972, Tahafuthul Falasifah, beirut, dar kutub al-Araby
b. Al-Ghazali, ihya’ ulum aldin, beirut, dar kutub al-araby
c. Ibnu Rusyd, tt, tahafuthul al-tahafuth, Mesir, dairat al-maarif
d. A. Mustafa, filsafat Islam untuk fakultas Tarbiyah, dakwah dan ushuludin
e. Abdul qadir jaelani, filsafat Islam, surabaya, bina ilmu
f. Ahmad hanafi, pengantar filsafat Islam, bulan bintang jakarta
g. Al-Ahrawai, filsafat Islam, pustaka firdaus
h. Irma fatimah, filsafat Islam, ontologi, epistemologi dan aksiologi, yogyakarta, LESFI
i. Muhammad yasir Nasution, Manusia menurut al-Ghazali, Jakarta, rajawali pers




Standar Makalah

1. Makalah diharuskan memakai referensi minimal 5 referensi

2. Dari setiap referensi mahasiswa diharuskan melampirkan kopi sampul buku serta halaman buku yang dikutip

3. Semua makalah dikumpulkan secara bersamaan pada saat ujian tengah semester dan disajikan (dipresentasikan) sesuai kelompok yang sudah terbentuk

Jumat, 06 Februari 2009



Perbedaan dan dinamika kelompok....

Selama saya study di Indiana University, kerapkali saya menemukan perbedaan baik yang bersifat personal, kelompok, internal maupun eksternal. Perbedaan yang bersifat personal bisa berupa konflik batin antara saya dengan sesuatu diluar kendali saya. Kadang sesuatu yang diluar kendali saya itu mengajak kearah kebaikan kadang menyesatkan.

Perbedaan selanjutnya yang seringkali saya jumpai adalah bersifat kelompok. Fenomena ini juga sangat complicated untuk dipahami, ada yang ingin melakukan sesuatu yang lain daripada yang lain. Kelompok ini selalu mencoba melakukan perbuatan yang bersifat sensasional. Biasanya kelompok ini menciptakan simbol-simbol baru yang belum pernah diketahui orang, sekalipun kadang dia juga tidak paham sepenuhnya dengan simbol itu. Ungkapan ini tidak ditujukan untuk menilai baik atau jelek akan tetapi hanya untuk memotret dari kacamata yang cukup jauh agar dapat disaksikan dan dimaknai secara lugas.

Ada kelompok yang melakukan perbuatan "konservasian". Kelompok ini selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat rutinitas yang itu memang menjadi tradisi kelompok ini. Kelompok ini biasanya sangat kuat sekali berpegang teguh pada prinsip, nilai yang selama ini dia anut meskipun akhirnya dia menyiasatinya untuk bisa meninggalkan prinsip, nilai dengan melakukan "apologisasi" argumen yang dia bangun itu.

Kemudian ada juga kelompok yang ingin menjadi penengah. Kelompok ini mencoba untuk mencari situasi yang aman, mencoba memahami segala sikap dan perbuatan kelompok yang ada diluar dirinya dengan cara yang sangat obyektif menurut dirinya, meskipun sebenarnya memahami dengan cara yang sangat obyektif menurut dirinya sendiri itu sebenarnya masih tergolong subyektif, tapi kelompok ini tidak sadar bahwa dirinya masih subyektif. Perbuatan yang biasanya diaktualkan adalah menjadi juru bicara orang lain, menjadi penengah, menjadi penerang dan anehnya kelompok yang diberikan penerang oleh kelompok ini akhirnya menerima juga meskipun dalam hatinya dia hanya tertawa terbahak-bahak....hahahahaha


Harapan saya yang terakhir adalah....

Tulisan ini saya buat, karena saya merasa semakin kita menatap jauh sebuah harapan, maka yang terasa adalah rasa keinginan untuk mencapai serta rasa keputusasaan untuk menggapainya. Dua perasaan ini yang sangat dominan ketika kita menatap sebuah harapan. Harapan merupakan sebuah kata yang sangat unik, dia bisa meluncur seperti anak panah yang menghujam ke "dada" manusia, yang membuat manusia mempunyai semangat tinggi dan juga membuat manusia lunglai tak berdaya dibuatnya, karena dia akan langsung mencabik-cabik perasaan manusia yang sudah lama menunggu sebuah harapan.

Harapan, banyak orang yang menunggunya....banyak orang mencemaskannya...

Saya sebenarnya menanti sebuah harapan yang sangat indah yaitu bisa melewati hari-hari dengan perasaan yang tenang meskipun dalam situasi yang bagaimanapun saya menanti harapan itu mengajakku ke arah manapun harapan itu mengajak saya.

Untuk bisa melewati hari-hari dengan perasaan yang tenang, tentu saja saya mempunyai harapan lagi yaitu dengan cara melakukan apa saja yang saya sukai.

Untuk bisa melakukan apa saja yang saya sukai, tentu saja saya mempunyai harapan yaitu apa saja yang saya sukai tidak dilarang.

Agar sesuatu itu tidak dilarang, maka saya mempunyai harapan yaitu sesuatu yang tidak dilarang itu tidak mempunyai lawan kalimat yaitu sesuatu yang dilarang, karena kalau ada lawan kalimat seperti itu, maka harapanku untuk mendapatkan sesuatu yang tidak dilarangpun masih terhambat karena ada sesuatu yang dilarang.

Agar tidak ada lawan kalimatnya, maka saya mempunyai harapan bahwa kata tidak yang berarti negasi tidak digunakan dalam kalimat tersebut. Karenanya kalimat yang saya harapkan adalah sesuatu yang diperbolehkan.

Jika sudah mendapatkan sesuatu yang diperbolehkan, maka.....loh kok masih ada lawannya...Wah gimana ini...Sekian aja saya masih mengharapkan ada kata yang tidak ada lawannya...kira-kira ada nggak ya sebuah kata atau kalimat yang tidak mempunyai lawan?

Hayo kalau bisa nebak, saya kasih nilai A.....

Minggu, 18 Januari 2009

Habis fitness dengan bule...



Tulisan ini saya buat untuk menghabiskan kepenatan saya, karena selama satu hari penuh nggak keluar sama sekali dari kamar...wuih rasane capek semua. Ternyata tubuh manusia itu mempunyai Natural Law (hukum alam) yang akan berjalan dengan bangunan logika yang dia bangun sendiri dalam sistem tubuh manusia.

Laiya...masak sehari sebelum saya tidak keluar dari kamar aja, rasanya capek banget, ingin segera istirahat fulllll...tetapi setelah tubuh ini saya biarkan istirahat seharian ternyata capek juga, bukan karena aktivitas akan tetapi karena seharian itu istirahat, tidur, mlungker (red; jawa) di kamar, kalau mau keluar itupun hanya makan dan minum atau ke kamar mandi, atau bermain gitar sendirian ditemani dengan suara angin dari luar yang kelihatan membawa udara dingiiiiin sekali, karena pada saat itu suhunya sekitar minus 24 derajat selsius. Wuuuh, coba bayangkan, di Malang aja (terutama di Batu) yang selama ini pernah didatangi oleh saya suhunya hanya plus 18 atau mungkin lebih sedikit, itu menurut saya dulu sudah betul-betul dingin. Nah, ternyata di sini di kota Bloomington, Indianapolis tepatnya di apartemen Bradfoard Place udaranya lebih dingiiiiiin, sampai-sampai saya berpakaian rangkap lima.

kembali ke persoalan di atas bahwa manusia mempunyai hukum alam yang secara otomatis "on" dan otomatis "off" tentu saja harus pintar-pintar kita mengolah tubuh kita, kata pepatah "di dalam tubuh yang sehat terdapat, jiwa yang kuat" eehh terbalik apa nggak ya "di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat" wes pokoknya begitulah kirannya.

Memang selain mempunyai akal (al-Aql) dan jiwa (al-Nafs) yang bersifat inmateriil, manusia memang sudah dikaruniai Tuhan jasad (al-jasad/al-jism) yang bersifat materiil. Karena sudah include begitu, maka sepantasnyalah "kita orang" menjaga karunia yang sudah diberikan Tuhan kepada kita semua ini sebagai rasa syukur kita kepadaNya.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berorientasi pada tiga dimensi manusia tersebut, yaitu pengembangan akal, jiwa dan jasad. Akal digunakan untuk berpikir, dia akan menunjukkan logika kehidupan ini secara normal, dia akan dapat mengendalikan dan mengarahkan nafsu angkara murka (al-Nafs al-Lawwamah) menuju nafsu ketenangan (al-Nafs al-Mutmainnah).

Nafsu sendiri harus terus diarahkan dan dididik kearah yang positif. Bagaimana cara pemberdayaan jiwa (al-Nafs) itu sendiri. Para Mistikus Jawa biasanya melakukan ritual-ritual tertentu atau biasa disebut "nglakoni", sedangkan Mistikus Islam biasa melakukan suluk lewat jalan yang standar (Tariqah al-Mu'tabarah) artinya jalan yang sudah pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Lelaku ini digunakan untuk menyeimbangkan dan menyadarkan perilaku materiil manusia yang selama ini melalaikan kehidupan sejatinya manusia.

Manusia banyak lalai akan eksistensi dirinya sebagai makhluk spiritual, makhluk yang sebelum dilahirkan ke muka bumi ini sebagai makhluk spiritual yang dijaga (dirumat; jawa) selalu oleh Tuhan. Manusia merupakan pancaran Tuhan, dia adalah bagian Tuhan dan dia pasti akan kembali kepadaNya dalam bentuk semula yaitu spiritual (al-Ruh). Manusia sudah bersua dengan Tuhannya, dan dia sudah diberikan pengetahuan olehNya. Hanya saja ketika dia lahir dalam bentuk jasadiyah dia harus melihat kesejatian dirinya sudah dibungkus oleh jasad, materi yang juga ternyata harus dirawat sampai jasad itu tidak kuat dan kembali kepadaNya.

Kalau begitu apakah jasad adalah malapetaka manusia...? Tampaknya tidak, karena itu adalah karunia Tuhan. Memang secara esensial manusia akan terbebas ketika dia membebaskan dirinya dari belenggu dunia (materi). Akan tetapi, karena Tuhan sudah memberikan jasad...ya harus kita gunakanlah sebaik-baiknya karena Tuhan juga menunjukkan cara-cara kepada manusia untuk memberdayakan jasad manusia.

Waduhh tak terasa, Pak Saat sudah adzan Maghrib....sudah ya...nich jasad saya sudah capek habis olah raga dan luapaaaaaaaar banget. Nanti aja diteruskan lagi....wong ini hanya untuk menghilangkan capek saya kok....Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh....

Obrolan dengan diri sendiri ini ditulis di kantor Bradfoard setelah fitness, jam 5 sampai 5.41

Sabtu, 17 Januari 2009

Keunikan manusia mencari makna kehidupan


Manusia memiliki keunikan tersendiri dalam menjalani rentetan kehidupannya, dia akan jungkir balik untuk mampu menapaki kehidupannya tahap demi tahap sehingga dia mampu meraih apa yang dia kehendaki, mulai dari bayi yang bisa keluar dari rahim ibu. Diri bayi ini mempunyai ekspektasi agar dia terbebas dari dunia rahim ibu, setelah itu dia berusaha untuk belajar dengan lingkungan yang membentuk dirinya sehingga dia mempunyai pandangan dunia yang sudah barang tentu yang mendominasi pemikirannya adalah lingkungan terdekatnya yang merupakan referensi utamanya dia, sehingga dia mempunyai gaya berpikir, gaya berprilaku yang semodel dengan lingkungannya. keputusan-keputusan yang dia ambil juga hasil dari pembelajarannya dia dengan lingkungan.

Nah, ketika dia masuk dalam lingkungan lain yang masih baru inilah gaya berpikir dan berperilaku yang selama ini dia yakini mulai dia kendurkan meskipun tidak ambrol tetapi dia sudah mempunyai dua referensi yang selalu menghegemoni perilaku dia.

Uniknya lagi, ternyata manusia tercipta untuk mampu beradaptasi dengan lingkungannya. kemampuan beradaptasi ini memiliki beberapa konsekuensi yang mungkin bisa jadi membuyarkan gaya berpikirnya yang selama ini dia anut atau malah sebaliknya dia semakin kuat berpegang teguh pada sistem berpikirnya yang selama ini dia anut. Pudarnya gaya berpikir ini yang disebut sebagai konversi. Faktor-faktor penyebab terjadinya konversi bisa jadi dari hasil pertemanan, komunikasi dengan komunitas lain, atau bisa jadi karena sesuatu yang "tidak nyata".

Fenomena mutakhir, menyatakan bahwa banyak lulusan pesantren yang studi di universitas yang dulunya mereka memiliki kepatuhan yang luar biasa berubah menjadi "liberal", bahkan tak jarang mereka meninggalkan asas-asas yang selama ini mereka anut. Sebaliknya, banyak lulusan sekolah "umum" yang dulunya berperilaku yang biasa, berubah drastis menjadi perilaku yang agamis yang sangat taat pada kepercayaan yang mereka mulai tekuni, mereka mulai menunjukkan simbol-simbol sosialnya sebagai identitas kepatuhan mereka terhadap agama. Nah, jika fenomena ini terjadi secara internal ini yang disebut konversi internal. Kebalikan dari konversi eksternal adalah terjadinya perubahan keyakinan satu dengan yang lainnya, misalnya berpindahnya agama Kristen ke Islam atau sebaliknya.

Penilaian manusia terhadap lingkungan tertentu mengandung makna bahwa dia melakukan proses belajar yang dimulai dengan persepsinya menurut ukuran atau kadar akal yang dia miliki, sehingga meskipun ada beberapa manusia yang sama-sama masuk dalam lingkungan tertentu, maka belum tentu dia memiliki kesamaan pandangan. Kesamaan pandangan akan dibentuk melalui proses pelembagaan seperti agama, sekolah atau yang lain, karena dalam proses pelambagaan tersebut sudah ditata sedemikian rupa aturan-aturan yang pasti sangat mengikat perilaku manusia dan konsekuensinya mereka memiliki perilaku yang sama meskipun perilaku tersebut mungkin hanya sebatas formalitas saja. Beberapa kalangan tidak menyukai proses pelembagaan seperti itu, karena dianggap menyalahi kodrat manusia sebagai manusia yang mampu berpikir secara mandiri sehingga tidak perlu sekolah, dia mampu menemukan makna kebenaran sendiri sehingga tidak perlu agama dan lain sebagainya. Nah, memang agak sulit memaknai manusia itu sendiri. Untuk menjawab kegundahan kita tentang itu semua, maka mungkin yang perlu kita pelajari adalah potensi dasar manusia atau dalam bahasa Islam biasa disebut fitrah.

Fitrah ini merupakan potensi sejati manusia yang dia miliki semenjak dia ditakdirkan menjadi manusia. Pertama manusia memerlukan "keamanan" bisa dilihat ketika terjadi gejala-gejala alam misalnya gempa bumi atau mungkin dalam keadaan terpepet yang lainnya secara spontan dia memerlukan nilai keamanan agar dia selamat dari kejadian-kejadian yang akan menghancurkan eksistensinya. Tampaknya nilai ini sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai manusia yang tidak berdaya. Rasa aman itu akan diperoleh jika manusia merasa bahwa dirinya sudah terlindungi oleh Yang Maha Pelindung. Yang kedua, mungkin manusia tidak ditakdirkan untuk tidak bisa hidup sendiri, dia pasti akan membutuhkan orang lain. Manusia pasti akan menciptakan interdepensi untuk melangsungkan eksistensinya agar dia tidak punah, karenanya proses pengikatan dalam satu wadah diperlukan atau yang mungkin bisa disebut sebagai proses pelembagaan seperti yang dijelaskan diatas.

Persoalannya, ternyata manusia juga makhluk yang ditakdirkan memiliki kecerdasan, kemampuan berpikir yang luar biasa. Dia adalah makhluk yang membutuhkan kebebasan, karena tanpa kebebasan dia akan merasa tidak berhasil dalam hidupnya. Fenomena ini juga disebut sebagai fitrah manusia. Para pemikir pendidikan sebenarnya sudah sangat sadar akan potensi yang satu ini, sehingga mereka berusaha menciptakan proses pelembagaan yang sealami mungkin bagaimana manusia bisa mengembangkan potensinya tanpa ada pemasungan potensinya yang dia miliki sebagai manusia sejati.

Wallahua'lam bi al-Sawab