Reality atau realitas atau kenyataan atau dalam bahasa arabnya al-Haqiqah, seringkali menjadi perbincangan baik di masyarakat, sekolah sampai diperbincangkan dalam forum ini.
Dalam kamus Webster's II yang kebetulan gue dikasih waktu pertama kali datang ke Bradfoard ditemukan makna "reality" sebagai "The Quality or state of being actual or true atau one that is real atau bisa bermakna the totality of all existing things" (lihat Webster; 569) Siapa saja mungkin akan berbeda menterjemahkannya akan tetapi secara esensial akan terjadi pemaknaan yang sama yaitu sesuatu (kualitas) yang aktual atau yang mengada. jika kita mengatakan apakah ada Mulan Jameela(padahal Mulan Jameela tidak ada disitu), maka pertanyaan tersebut tentu akan dijawab ada, meskipun Mulan Jameela tidak ada disitu.Pertanyaan seperti adalah pertanyaan dalam kategori konsepsi yang masih berupa kualitas, artinya Mulan Jameela "ada" tapi tidak meng"ada" (existing). Nah, jika Mulan Jameela ada di dalam kontek pernyataan itu, maka Mulan Jameela itu ada (kualitas) dan jugameng"ada" (existing).
Realitas sebagaimana yang disebutkan diatas sudah barang tentu sesuatu yang "ada" dan meng"ada". Dia adalah sesuatu yang tangible mampu dipahami, mampu dilihat, mampu disentuh jadi sesuatuyang betul-betul ada. Namun, sebagian para filsuf mempunyai pandangan yang berbeda tentang reality. Ada yang memahami bahwa reality is producted by mind dan filsuf yang lain memandang bahwa reality is given out there.
Nah,perbincangan ini semakin menarik, karena ternyata ada dualitas konsepsi yang berbeda memandang realitas.Coba kita mulai mendiskusikan kedua hal tersebut.
Pertama, reality is producted by mind. Pandangan ini menyatakan bahwa realitas sebenarnya dikonstruksi oleh pikiranmanusia, dia ada karena manusia mengkontruksinya, jika manusia tidak mengkonstruksinya, maka reality itu tidak ada, contohnya, jika seorangakan merencanakan sesuatu pekerjaan yang sudah dia tuangkan dalam sebuah blueprint berupa jadwal pekerjaan, maka jika dia tidak menjalankan pekerjaan itu, tentu pekerjaan itu tidak bakalan wujud,tidak bakalan aktual atau bahasa kasarannya tidak akan meng"ada".Seorang arsitek yang mau membangun rumah, dia pasti akan membuat rancang bangun dalam blueprint nya, maka jika dia tidak membangun rumahtersebut sudah barang tentu dia (rumah itu) hanya sebatas konsep doang. Rumah itu hanya ada dalam benak pikirannya si arsitek tersebut, rumah itu tidak akan aktual. Jadi yang menjadi instrumen utamanya adalah pikiran manusia itu sendiri atau seringkali kita kenal sebagai subjectivity. Madzhab reality ini disebut sebagai madzhab idealism, salah satu penganutnya adalah Plato. Madzhab ini mungkin lebih menarik lagi jika kita kaitkan dengan metodologi penelitian yang sekarang kita sebagai mahasiswa kandidat doktor sering mempelajari ini.
Dalam metodologi penelitian setidaknya ada dua macam yaitu kuantitatif dan kualitatif. jika kita kaitkan pemahaman reality yang pertama, maka tampak ada persamaan dengan metode kualitatif dimana sipeneliti sebagai instrumen utama untuk melakukan justifikasi tentang reality.Seorang peneliti akan menyatakan bahwa realitas itu benar-benar ada,riil, sahih (valid), reliable dan lain sebagainya ditentukan oleh peneliti itu sendiri (meskipun masih menyaratkan justifikasi oranglain, akan tetapi peneliti sebagai key instrumen), penelitian kualitatif lebih membangun subyektivitas daripada obyektivitas, artinya jika subyek menyatakan sesuatu, maka obyek itu akan hadir,akan wujud atau akan meng"ada".
Madzhab yang kedua, menyatakan bahwa "reality is given out there".Jadi realitas itu benar-benar ada, bukan hasil konstruksi manusia. Dia betul-betul wujud, dia ada dan meng"ada". Sebuah batu misalnya, dia merupakan realitas yang nyata, memang dia sendiri ada, dia meng"ada"karena dia memproses dirinya menjadi sebuah batu. Sebatang pohon, dia memang betul-betul ada, wujud dan dia memang memproses dirinya untuk meng"ada" menjadi sebuah kayu. Madzhab ini dikenal dengan realisme, penganutnya adalah Aristoteles.
Nah, jika kita kaitkan dengan metodologi penelitian, maka lebih pas ke arah kuantitatif, karena diamembangun objectivity, artinya yang berhak menjustifikasi dirinyaadalah obyek itu sendiri, bukan subyek. karena obyek itu benar-benarada, dia (obyek) mempunyai otoritas untuk menyatakan dirinya sendiri.Pada dasarnya kuantitatif itu mengukur seberapa obyektif si obyek itu. Kalau obyeknya manusia, maka yang berhak menyatakan dia obyektif adalah dirinya sendiri (maksudnya obyek itu sendiri), bukan si peneliti tapiyang diteliti.
Dua pandangan besar ini akhirnya menjadi perdebatan yang sangat dikotomik, bahkan akhir-akhir saling menyalahkan satu dengan yanglainnya. Ada beberapa usaha untuk menjadikan keduanya, untuk duduk bersama dan saling mengisi satu sama lain. Kalau dalam penelitian ini ada usaha untuk mixing antara keduanya. Namun, permasalahannya adalah dasar mixing itu sendiri itu dari sisi mana. Nah, ini sampai sekarangmasih dicari terus sampai saat ini penulis belum menemukan dasar ini.Tolong ya...jika ada temen-temen yang sudah menemukan landasanberpikir mixing itu dikasih saya....bagi-bagi ilmu ya....thanks Wallahu A'lam. --- End forwarded message ---
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar