Islam sebenarnya punya tradisi berfikir yang sangat khas, karena pernyataan-pernyataan yang dibangun oleh orang Islam disandarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis. Dari sandaran-sandaran tersebut memunculkan hukum-hukum logika yang sangat unik. Hal itu disebabkan pengambilan keputusan (tasdiq) kadangkala beracuan pada realitas (korespondensi) dengan gaya induksinya, atau bisa juga beracuan pada logika pernyataan (koherensi) dengan gaya deduksinya, atau bisa juga beracuan pada sebuah kepercayaan. Nah, gaya yang ketiga ini menjadi ciri khas logika muslim, misalkan ada ayat-ayat (pernyataan-pernyataan) tentang eksistensi malaikat, jin, syetan dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan realitas transendental (realitas ghaib), sehingga penyimpulan (tasdiq) terhadap realitas tersebut tidak setia dengan fakta atau tidak setia dengan hukum-hukum logika berfikir manusia akan tetapi lebih setia pada realitas ghaib tersebut. Gaya berfikir semacam ini, mungkin yang dikenal sebagai gaya berfikir bayani, dalam konteks hukum logika, akan tetapi bisa juga gaya berfikir irfani, dalam konteks sistem kepercayaan muslim.
Kita coba membahas logika berfikir tersebut, misalnya dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Jangan mendekati perzinahan, karena itu merupakan perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan”. Jika kita tarik kalimat proposisi hukumnya adalah sebagai berikut:
“Semua perbuatan yang mendekati zina merupakan perbuatan keji dan jelek” (premis mayor)
“ Pacaran merupakan perbuatan yang mendekati perzinahan” (premis minor)
“Jadi pacaran merupakan perbuatan yang keji dan jelek” (kesimpulan)
Pernyataan tersebut diatas, menjadi kaidah-kaidah fiqih, sehingga dalam kaidah tersebut terumuskan proposisi-proposisi pernyataan kesimpulan. Jadi para fuqaha sebenarnya telah memberikan sentuhan-sentuhan logika berfikir yang sangat sistematis, sehingga Islam memiliki tradisi berfikir yang sangat khas tersebut.
Hukum-hukum yang diproduksi oleh Islam para fuqaha sendiri juga berbeda dengan produk hukum yang lain. Kita contohkan saja dengan produk hukum yang ada di Indonesia sendiri, dimana pernyataan kebenarannya hanya ada dua pilihan yaitu benar atau bersalah. Jadi tampak sekali hitam putih, jika si A melakukan perbuatan tertentu, maka hukumnya kalau tidak salah ya tidak benar.
Di tradisi para fuqaha sendiri lebih berhati-hati (ihtiyatan), karena segala perbuatan seseorang bisa saja dalam kategori yang sangat dilematis, karena mungkin saja dia mengkonsumsi barang yang salah (haram), akan tetapi demi kemaslahatan (kebenaran). Sehingga para fuqaha memproduksi kategorisasi hukum menjadi 5 kategori yaitu halal, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Penggolongan oleh fuqaha ini tampaknya dilakukan melihat kompleksitas pernyataan hukum yang serba bisa “ditembus” sana ini, sehingga bisa-bisa pernyataan hukum terus dalam perdebatan yang sangat kusir sekali dan tidak ada solusi hukum sama sekali.
Kita mungkin baru saja mendengar kabar bahwa para jama’ah haji sebelum pergi haji tahun ini disuntik dengan semacam serum anti flu babi. Dan konon, bahan dari serum tersebut diambilkan dari imun (kekebalan) babi itu sendiri. Analoginya bahwa manusia sebenarnya mempunyai sistem kekebalan tubuh ketika manusia mengalami gangguan atau sakit secara alami. Ternyata babi dan hewan-hewan yang lain juga memiliki sistem kekebalan tubuh, ketika dia sakit. Sehingga ketika babi terkena penyakit flu, maka secara otomatis sistem kekebalan tubuhnya babi akan secara otomatis menolak. Nah, sistem kekebalan tubuh (imun) inilah yang kemudian oleh para pakar kesehatan diambil untuk dijadikan obat penawar kepada manusia yang terkena virus flu babi, sehingga suntikan tersebut berasal dari babi.
Nah, problem-problem semacam ini, harus dipahami betul oleh para fuqaha, agar mampu menyikapi bagaimana sebenarnya hukum penyuntikan tersebut, karena Rasulullah SAW sendiri juga pernah menyatakan dalam sebuah hadis tentang lalat, agar ketika ada air minum yang dihinggapi lalat jangan keburu untuk membuang minuman tersebut, akan tetapi lalat tersebut ditenggelamkan semuanya dan diperbolehkan untuk diminum, karena menurut hadis tersebut dinyatakan bahwa pada sayap lalat itu ada racum dan sebelahnya adalah penawar. Padahal, lalat sebenarnya hewan yang menjijikan dan mungkin bisa dikategorikan haram akan tetapi karena dia bisa memberikan kesembuhan, maka posisi lalat tidak lagi menjadi hewan yang haram.
Fenomena seperti ini, dalam tradisi Islam menimbulkan gaya dan corak logika pengetahuan yang baru, dan kadang obyek realitas yang dicontohkan dalam tradisi hukum logika tersebut tidak setia dengan fakta-fakta tertentu. Kategorisasi hukum yang diproduksi oleh para fuqaha sebenarnya mencerminkan bahwa hukum Islam sebenarnya hukum yang lebih berhati-hati dalam menempatkan posisi sebuah kasus tertentu dan juga sebenarnya mencerminkan bahwa sebuah kasus tertentu sebenarnya memiliki kompleksitas yang tidak sederhana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
kalu hukum islam yang di sampaikan oleh fuqaha hanyalah berhati2 agar kita jgn melakukannya. apakah itu menandakan dihukum tersebut tidak ada ketegasan???....
Posting Komentar