Suatu saat surat kabar menceritakan kasus Prita yang di penjara gara-gara menuliskan email kepada teman-temannya tentang keluhan dia terhadap pelayanan rumah sakit yang konon katanya sudah bertaraf internasional. Nah, gara-gara email tersebut Prita dituntut oleh pihak rumah sakit karena mencemarkan nama baik rumah sakit yang bersangkutan. Prita konon katanya dituntut dengan pasal-pasal pencemaran nama baik sehingga dia langsung oleh polisi dijebloskan kedalam penjara. Kejadian ini menghebohkan masyarakat, dan sempat mengundang protes masyarakat bahkan pada akhirnya kasus ini mencuat di dunia politik nasional kita, semua tampak menjadi “pahlawan” bagi Prita yang pada akhirnya Prita dibebaskan dari penjara, meskipun pihak rumah sakit masih menuntut agar Prita masih harus dihukum, karena pelanggaran hukum itu.
Kasus tersebut dalam tema kali ini kita jadikan sampel pada perbincangan kali ini yaitu tentang kebenaran dan bagaimana cara mengujinya. Kebenaran secara substansi sebenarnya sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang atau masyarakat dengan kekuatan dan dorongan yang luar biasa sehingga masyarakat menerima pernyataan tersebut. Dorongan dan kekuatan itu bisa berupa logika-logika, bisa berupa bukti-bukti atau dalil-dalil atau bahkan bisa jadi sebuah kesepakatan masyarakat yang dihasilkan dari sebuah musyawarah bersama sehingga memiliki kekuatan hukum yang sangat dahsyat.
Pada kasus Prita sebenarnya kebenaran bisa kita kategorisasikan muncul dari kesepakatan atau akad masyarakat terhadap sebuah pernyataan yang akhirnya menjadi produk hukum. Dan kebetulan pernyataan tersebut adalah tentang “Pencemaran Nama Baik” dan menjadi salah satu pasal hukum di negeri kita ini, sehingga kasus Prita menurut pandangan pihak rumah sakit sangat merendahkan dan mencemarkan nama baik rumah sakit ini, karena pihak rumah sakit menganggap bahwa pelayanan mereka sebenarnya sudah “standar internasional” kok dilecehkan oleh ulah Prita tersebut. Sedangkan Prita sendiri menganggap bahwa email yang dikirimkan kepada temannya itu sebenarnya hanya curhat dia kepada temannya tanpa bermaksud menjelekkan nama baik rumah sakit tersebut.
Dari kedua belah pihak sebenarnya siapa yang benar dan siapa yang salah? Pertanyaan ini sebenarnya harus dijawab dengan menguji ulang pasal pencemaran nama baik tersebut. Uji ulang pasal tersebut harus dilakukan, karena kriteria sebuah pernyataan yang benar adalah ketika semua masyarakat meng”iya”kan pernyataan atau pasal tersebut. Dalam kasus ini pasal pencemaran nama baik ternyata mengundang protes masyarakat serta memunculkan multi tafsir sehingga kebenarannya masih debatable. Pasal tersebut harus betul-betul diuji lagi dengan memunculkan kasus-kasus baru, apakah kasus tersebut masih dipermasalahkan oleh masyarakat atau tidak sampai pada tingkat kejenuhan pernyataan tersebut artinya pernyataan atau pasal tersebut berulang-ulang dilontarkan oleh masyarakat sebagai pernyataan yang tidak bermasalah dan satu penafsiran.
Jadi kebenaran sebenarnya didapatkan ketika sebuah pernyataan itu di”amini” oleh semua masyarakat dan tidak menimbulkan beragam tafsir yang akhirnya pernyataan tersebut betul-betul sudah menjadi “kaprah” atau general di masyarakat.
Sekian pelajaran kali ini semoga pelajaran ini bukan merupakan pencemaran nama baik, dan tidak dituntut oleh pihak-pihak tertentu....
Rabu, 18 November 2009
Selasa, 17 November 2009
The Superman
Salah seorang mahasiswi bertanya kepada saya yang dilayangkan pada sms yang intinya tentang bagaimana bisa mengukur kesempuranaan manusia di dunia pendidikan?padahal tidak ada manusia yang sempurna didunia ini.....
Pertanyaan ini menggugah saya untuk merenungkan kembali apa itu ke”sempurna”an. Kalau bisa kita istilahkan dengan manusia ber”kualitas” jadi manusia sempurna adalah manusia ber”kualitas”. Ke”sempurna”an atau kualitas memang tidak bisa diukur secara ideal seperti layaknya “Superman” yang bisa terbang, kuat, menolong orang yang lemah pokoknya serba “hero” lah atau seperti Rasulullah SAW yang tampaknya kita susah untuk meniru segala tindak tanduk kita seperti Beliau.
Namun, sebenarnya ketika manusia lahir dimuka bumi ini sudah dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga ke”sempurna”an atau kualitas itu juga akan terbentur oleh ruang dan waktu manusia tersebut. Manusia itu hidup di daerah atau wilayah mana sehingga ke”sempurna”an itu sebenarnya bisa didefinisikan menurut batas-batas wilayah tersebut, sehingga terwujudlah standar menurut daerah atau wilayah itu.
Standar merupakan patokan pernyataan yang betul-betul handal (reliable) dan general dan disepakati (muttafaq alaih) artinya masyarakat sepakat akan hal tersebut yaitu tentang ke”sempurna”an. Jika di wilayah tersebut masyarakat sepakat tentang “perilaku wanita perawan yang baik” misalnya menurut masyarakat tersebut sudah sepakat bahwa wanita perawan yang baik adalah jika pulangnya tidak larut malam, tidak menerima tamu laki-laki sampai tengah malam, sehingga yang menjadi kriteria ke”sempurna”an wanita yang perawan adalah yang tidak melakukan hal tersebut diatas.
Kesempurnaan manusia dalam dunia pendidikan
Jika kita memahami pernyataan diatas, maka sudah barang tentu ke”sempurna”an manusia di dunia pendidikan adalah yang sudah dipatok secara bersama-sama artinya ada standarisasi atau kriteria manusia yang akan dihasilkan dalam proses pendidikan yang sudah barangtentu ditandai dengan harus bisa diukur, dijangkau, diterima oleh dunia pendidikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur ke”sempurna”an manusia itu sendiri? Pertanyaan tersebut sebenarnya dijawab tidak akan jauh berbeda dengan proses ke”sempurna”an pada masyarakat seperti diatas, akan tetapi memang alat mengukur (instrumen) yang digunakan pada saat ini sangat bermacam-macam, karena memang dirasa sangat sulit untuk mengukur ke”sempurna”an manusia yang memiliki potensi yang beragam, atau bahkan memiliki kepribadian ganda yang memang itu menjadi ciri khas manusia.
Karenanya ke”sempurna”an akan terjadi jika sudah ada kesepakatan dan uji coba dilapangan sehingga semua orang akan menyatakan sama (generalisasi) tentang kriteria manusia sempurna (superman) yang akan dihasilkan oleh pendidikan. Misalnya saja pernyataan tentang menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Pernyataan tersebut sudah barang tentu disepakati bersama akan tetapi mungkin yang membedakan adalah indikator beriman dan bertaqwa itu menurut masing-masing wilayah atau mungkin agama akan berbeda, misalnya Islam memberikan ukuran beriman dan bertaqwa adalah manusia yang melakukan sholat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat atau pergi haji, sedangkan Kristen mungkin memiliki kriteria yang berbada dengan Islam. Itulah sebabnya ke”sempurna”an manusia sangat dibatasi oleh ruang dan waktu.
Wassalam.....
Langganan:
Postingan (Atom)