Selasa, 17 November 2009

The Superman


Salah seorang mahasiswi bertanya kepada saya yang dilayangkan pada sms yang intinya tentang bagaimana bisa mengukur kesempuranaan manusia di dunia pendidikan?padahal tidak ada manusia yang sempurna didunia ini.....

Pertanyaan ini menggugah saya untuk merenungkan kembali apa itu ke”sempurna”an. Kalau bisa kita istilahkan dengan manusia ber”kualitas” jadi manusia sempurna adalah manusia ber”kualitas”. Ke”sempurna”an atau kualitas memang tidak bisa diukur secara ideal seperti layaknya “Superman” yang bisa terbang, kuat, menolong orang yang lemah pokoknya serba “hero” lah atau seperti Rasulullah SAW yang tampaknya kita susah untuk meniru segala tindak tanduk kita seperti Beliau.

Namun, sebenarnya ketika manusia lahir dimuka bumi ini sudah dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga ke”sempurna”an atau kualitas itu juga akan terbentur oleh ruang dan waktu manusia tersebut. Manusia itu hidup di daerah atau wilayah mana sehingga ke”sempurna”an itu sebenarnya bisa didefinisikan menurut batas-batas wilayah tersebut, sehingga terwujudlah standar menurut daerah atau wilayah itu.

Standar merupakan patokan pernyataan yang betul-betul handal (reliable) dan general dan disepakati (muttafaq alaih) artinya masyarakat sepakat akan hal tersebut yaitu tentang ke”sempurna”an. Jika di wilayah tersebut masyarakat sepakat tentang “perilaku wanita perawan yang baik” misalnya menurut masyarakat tersebut sudah sepakat bahwa wanita perawan yang baik adalah jika pulangnya tidak larut malam, tidak menerima tamu laki-laki sampai tengah malam, sehingga yang menjadi kriteria ke”sempurna”an wanita yang perawan adalah yang tidak melakukan hal tersebut diatas.

Kesempurnaan manusia dalam dunia pendidikan

Jika kita memahami pernyataan diatas, maka sudah barang tentu ke”sempurna”an manusia di dunia pendidikan adalah yang sudah dipatok secara bersama-sama artinya ada standarisasi atau kriteria manusia yang akan dihasilkan dalam proses pendidikan yang sudah barangtentu ditandai dengan harus bisa diukur, dijangkau, diterima oleh dunia pendidikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur ke”sempurna”an manusia itu sendiri? Pertanyaan tersebut sebenarnya dijawab tidak akan jauh berbeda dengan proses ke”sempurna”an pada masyarakat seperti diatas, akan tetapi memang alat mengukur (instrumen) yang digunakan pada saat ini sangat bermacam-macam, karena memang dirasa sangat sulit untuk mengukur ke”sempurna”an manusia yang memiliki potensi yang beragam, atau bahkan memiliki kepribadian ganda yang memang itu menjadi ciri khas manusia.

Karenanya ke”sempurna”an akan terjadi jika sudah ada kesepakatan dan uji coba dilapangan sehingga semua orang akan menyatakan sama (generalisasi) tentang kriteria manusia sempurna (superman) yang akan dihasilkan oleh pendidikan. Misalnya saja pernyataan tentang menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Pernyataan tersebut sudah barang tentu disepakati bersama akan tetapi mungkin yang membedakan adalah indikator beriman dan bertaqwa itu menurut masing-masing wilayah atau mungkin agama akan berbeda, misalnya Islam memberikan ukuran beriman dan bertaqwa adalah manusia yang melakukan sholat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat atau pergi haji, sedangkan Kristen mungkin memiliki kriteria yang berbada dengan Islam. Itulah sebabnya ke”sempurna”an manusia sangat dibatasi oleh ruang dan waktu.


Wassalam.....

Tidak ada komentar: